DSC_3897 ok web

Mekanisme pertemuan kelompok tentu bukan hanya sekedar prosedur mendapatkan pinjaman. Semua komponennya harus dijalankan dengan penuh makna. Berikut liputan SBW pada pertemuan kelompok 10.  

Jarum jam terus bergerak menuju angka sepuluh. Satu per satu anggota mulai berdatangan ke rumah Ibu Wiwin yang berada di Pucang Anom Timur IV. Setidaknya saat itu, di ruang tamu sudah ada 13 anggota. Mereka saling bercerita dan bersenda gurau sambil menunggu kedatangan anggota lainnya.

Disatu sudut nampak Ibu Wiwin selaku PJ 1 kelompok 10 sibuk melakukan pencatatan pembayaran kewajiban anggotanya. Dalam penerimaan pembayaran kewajiban ini, Ibu Wiwin dibantu oleh Ibu Elvi. “Biasanya PJ 2 yang membantu saya. Tapi hari ini berhalangan hadir. Sebagai gantinya ya.. Bu Elvi. Ini salah satu kader kita,” tukas Ibu Wiwin.

Setiap anggota yang baru datang, langsung menghadap Ibu Wiwin untuk mengambil kitir. Dari kitir itulah anggota bisa tahu berapa kewajiban yang harus dibayar. Tak lupa mereka juga melakukan pengecekan lembar konfirmasi sebelum menandatanganinya. Hal ini memang wajib dilakukan setiap anggota sebagai bentuk kontrol.

Dilembar konfirmasi itu, tercantum saldo pinjaman  sebagai cross cek antara yang telah dibayarkan setiap anggota dan yang disetorkan PJ ke koperasi pada bulan lalu. Begitu pula, setiap anggota juga wajib untuk melakukan pencocokan antara apa yang tercantum di kitir dengan yang di lembar tagihan. Bila sudah ada kesesuaian antara yang dibayarkan dengan yang tercatat, maka setiap anggota wajib bertanda tangan.

Tentu saja terkait dengan itu semua, kelompok 10 telah mempunyai pengalaman pahit. Kasus tersebut terbongkar sekitar tahun 2007 yang melibatkan PJ saat itu. Pembayaran kewajiban anggota dimasa tenggang sering tidak disetorkan oleh PJ. Karena saat itu, semua anggota percaya begitu saja kepada PJ tanpa pernah melakukan pengecekan. Dari pengalaman itu pula akhirnya dibuat peraturan kelompok yang meniadakan masa tenggang.

“Ayo yang belum absen tanda tangan dulu,” seru Ibu Elvi mengingatkan anggota yang belum menanda tangani daftar hadir. Karena saat itu anggota nampak sibuk bercengkerama. Ada yang saling bercerita tentang kondisinya akhir-akhir ini. Ada juga yang sibuk dengan barang dagangannya. Ibu Novi misalnya, sibuk menawarkan produknya mulai busana muslim sampai jilbab. Pendek kata, anggota kelompok 10 seakan tidak ingin menyia-nyiakan waktunya sebelum acara dimulai.

Sampai mendekati pukul setengah sebelas acara pertemuan kelompok belum dimulai. Karena saat itu yang hadir belum memenuhi qorum. Dari 32 anggota, yang hadir saat itu baru 15 anggota. Begitu sudah terlihat ada 20 anggota yang hadir, maka Ibu Wiwin membuka pertemuan. Pada kesempatan itu, Ibu Wiwin  mengingatkan kepada anggotanya untuk disiplin hadir.

Memang kehadiran anggota dalam pertemuan kelompok mempunyai arti yang sangat penting.  Kehadiran merupakan bentuk kebersamaan dan kepedulian terhadap teman satu kelompok. Ketika ada teman yang mengajukan pinjaman, maka yang lain memberi persetujuan. Ketika ada teman yang terkena musibah maka yang lain ikut menolongnya dengan bertanggung renteng. Lalu kalau tidak pernah hadir, bagaimana ia bisa merasakan proses itu semua. Itulah sebabnya daftar hadir dijadikan bukti kondite anggota. Di kelompok 10 ada peraturan yang menyebutkan 3 kali tidak hadir maka SPP ditunda sampai bulan berikutnya.

“Ayo bu, siapa lagi yang mau SPP silahkan, diisi blankonya,” seru Ibu Wiwin mencoba menawarkan pinjaman. “Ayo..ayo.. diobral.. SP1,SP2, SP3,” canda Ibu Elvi menindak lanjuti sambil melambai-lambaikan blanko SPP.

Nampaknya anggota kelompok 10 memang berhati-hati dalam pengajuan pinjaman. Mereka cukup rasional saat mengajukan pinjaman dengan mempertimbangkan antara kemampuan, keinginan dan kebutuhan. Sampai-sampai di kelompok 10 ada ketentuan pinjam SP 1 tidak boleh bersamaan dengan SP2 ataupun SP3. Kecuali bila angsuran sudah mencapai 50 %.

Kontrol diri anggota juga ditunjukan diantaranya, baru mengajukan pinjaman setelah angsurannya tinggal sedikit. Bahkan tidak jarang juga yang sampai habis angsurannya, baru mengajukan pinjaman lagi. “Hutangnya enak… pas ngansurnya beban. Maka harus dihitung betul kemampuan mengansurnya supaya tidak jadi masalah dan membebani teman dikelompok,” tukas salah satu anggota.

Tapi kehati-hatian tersebut tidak begitu nampak saat proses musyawarah pengajuan pinjaman. Terbukti dari kata setuju yang seakan begitu mudah dilontarkan. Saat itu tidak ada perdebatan ataupun koreksi atas mereka yang mengajukan pinjaman. Tapi nampaknya hal itu terjadi karena mereka yang mengajukan pinjaman saat itu adalah anggota –anggota yang bisa dipercaya.

DSC_3905 ok web

Terkait dengan pinjaman, kelompok 10 juga punya pengalaman yang membuat luka sangat dalam. Bagaimana tidak, PJ 1 dan PJ 2 telah terlibat dalam kasus pendomplengan yang terbongkar ditahun 2007. Tak tanggung –tanggung nilainya sampai mencapai Rp 160 juta. Tentu saja resiko dari pendomplengan itu menjadi tanggung jawab yang punya nama. Karena pada dasarnya pendomplengan adalah pinjaman antar pribadi.

Pendomplengan terjadi karena ketikdak jujuran dan ketidak terbukaan pada saat musyawarah. Disamping itu juga akibat kesalahan dalam mengartikan saling percaya dan kebersamaan. Bagaimanapun rasa saling percaya harus tetap didasari pada pertimbangan yang rasional. Sudah banyak bukti juga bagaimana pendomplengan telah membuat masalah bagi kelompok. Bahkan yang jelas juga mengganggu stabilitas ekonomi keluarga.

Sejarah kelam dan bagaimana kelompok 10 melakukan recovery, tentu semuanya harus tercatat dalam notulen. Karena dari notulen itulah, kelompok bisa belajar bagaimana keluar dari masalah dan bagaiman meminimalisir resiko. Agar notulen menjadi fakta yang akurat, maka wajib dibacakan dipertemuan berikutnya untuk mendapat koreksi. Untuk itu sangat disayangkan bila notulen hanya dianggap sebagai tempelan pemenuhan syarat pertemuan kelompok. Apalagi bila sampai tidak dibacakan.

Kelompok 10 sebagai kelompok tua tentu sudah sangat faham akan system tanggung renteng. Bahkan kelompok ini juga sudah merasakan betapa pahitnya akibat system yang tidak diterapkan dengan benar. Kendati demikian, mengingatkan agar selalu berada dijalur system, tentu bukan hal tabu. Karena semua itu demi kepentingan bersama dan demi eksistensi kelompok. Disinilah PPL sebagai pendamping dan pembina di kelompok sangat dibutuhkan perannya. (gt)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.