Ketika sistem tanggung renteng tidak difahami secara benar oleh anggota, kelompokpun terancam bermasalah.Itulah yang dialami kelompok 491 dua tahun sebelumnya.

Sore itu, ada sekumpulan ibu-ibu sedang berkumpul di Resto Primarasa Jl Kusuma Bangsa. Tidak terlihat keceriaan diwajah mereka, karena memang ekspresi wajah tertutup masker. Kendati demikian obrolan yang terjadi terdengar begitu gayeng. Bahkan sesekali terdengar gelak tawa. Itulah suasana pertemuan kelompok 491 pada Juni lalu.

Memang pertemuan kelompok 491 di bulan Juni terasa berbeda dengan bulan-bulan sebelumnya. “Satu tahun lebih ya kita tidak bertemu dan kumpul – kumpul seperti ini,” tukas Ibu Mariani yang akrab dipanggil Cik De. Saat itu pukul 4 sore sudah terlihat 10 ibu yang berkumpul termasuk Ibu Julie selaku PPL.

Pertemuan kelompok pada 15 Juni itu memang dijadwalkan mulai pukul 16.00 WIB. Tapi yang datang saat itu baru 9 anggota. “Biasanya yang datang itu lengkap 15 orang. Apalagi kalau ada acara seperti ini. Tapi nampaknya sebagian masih takut kumpul-kumpul karena Covid. Walaupun demikian untuk kewajiban sudah lengkap dan disetor ke SBW pada hari sebelumnya,” tukas Ibu Julie sambil menunjukan bukti setor kelompok.

Karena sudah dianggap melebihi 50% plus 1, maka Ibu PPL meminta pada Ibu Nunik selaku PJ 1 untuk membuka pertemuan. Tidak banyak yang disampaikan Ibu Nunik saat itu, karena proses pembayaran dan musyawarah SPP telah dilakukan pada hari sebelumnya secara online. Sehingga pada pertemuan tersebut, tinggal proses tanda tangan saja.

Anggota yang baru datang, langsung disodori berkas seperti absen, konfirmasi dan tagihan untuk ditanda tangani. Sebelum menanda tangani, setiap anggota melakukan pengecekan antara yang tertera di konfirmasi, tagihan dan kitir pembayaran yang dipegangnya. Mereka baru bertanda tangan bila angka-angka yang tertera sudah sesuai.

Setengah jam berlalu dari pukul 16.00, anggota yang hadir telah mencapai 11 orang. Sambil menunggu proses tanda tangan SPP, hidanganpun mulai disajikan. Disaat itu obrolan diantara mereka mulai gayeng lagi. Bahkan ada juga yang bercerita tentang kondisi kelompok 491 yang selalu dirundung TR. Walau cerita pahit, mereka menanggapinya dengan ceria.

“Sampai saat ini kita masih melakukan pembatasan pinjaman SP 1 maksimal Rp10 juta. Pinjaman toko juga kita batasi. Kita masih trauma dengan kejadian TR sebelum-sebelumnya. Ada anggota yang baru pinjam lalu menghilang dan itu tidak hanya sekali. Rasanya TR seperti bergantian gitu. Alhamdulillah sejak Nopember 2019 sudah tidak TR lagi. Tapi kita sepakat tetap melakukan pembatasan untuk kontrol,” ungkap Ibu Nunik, PJ 1 kelompok 491.

TR memang tidak hanya sekali terjadi di kelompok 491. Bahkan terakhir terjadi TR spontan sebesar Rp 350 ribu per anggota. Hal itu terjadi karena uang setoran kelompok tidak disetorkan sepenuhnya oleh PJ 1 sebelum Ibu Nunik. Waktu itu alasanya dirampok ketika menuju kantor SBW. Tapi setelah ditelusuri, akhirnya diketahui uang setoran kelompok itu sebagian digunakan oleh suaminya untuk membayar cicilan mobil.

Ternyata tidak hanya itu, PJ 1 waktu itu juga sering tidak mecatat tambahan angsuran dari anggota. Begitu pula dengan pembayaran angsuran dimasa tenggang tidak disetorkan. “Waktu itu, kita pasrah saja sama PJ 1. Jadi kita nggak pernah melakukan pengecekan konfirmasi maupun tagihan. Makanya kita juga nggak tahu kalau tambahan angsuran kita tidak disetorkan oleh PJ. Sekarang PJ nya Bu Nunik, orangya terbuka,” tukas Ibu Eti yang punya pengalaman pahit terhadap PJ sebelumnya.

Nampaknya sebagian besar anggota kelompok 491 waktu itu kurang memahami sistem tanggung renteng. Hal tersebut terjadi karena PJ 1waktu itu tidak terbuka dalam pengelolaan kelompoknya. Tak mengherankan bila anggotanyapun hanya sekedar bertanda tangan tanpa melakukan pengecekan apa yang tertera pada berkas.

Bahkan ada anggota yang tidak mengetahui kalau setiap anggota mempunyai simpanan di koperasi. Hal itu dialami Ibu Ismi yang pernah mengajukan pengunduran diri. “Ibu Ismi ini pernah mengajukan pengunduran diri. Kemudian kita hitungkan sisa pinjaman dan besarnya simpanannya. Saat itu Ibu Ismi sempat kaget setelah mengetahui mempunyai simpanan cukup banyak. Akhirnya tidak jadi mengundurkan diri dan bertahan hingga kini, walaupun saat itu harus membayar TR,” ungkap Ibu Julie.

Kelompok 491 akhirnya bisa terbebas dari TR pada tahun 2019 dengan sebanyak 15 anggota yang tetap bertahan hingga kini. Seiring dengan membaiknya kelompok, simpanan kelompokpun terus bertambah dan kini telah mencapai sekitar Rp 6 juta. Untuk itulah pada pertemuan Juni 2021 merupakan bentuk rasa syukur.

“Pinjam di bank itu rumit ada jaminan lalu disurvei juga. Beda dengan di SBW, kita tinggal mengajukan di kelompok lalu tinggal tunggu realisasinya. Makanya saya tetap bertahan jadi anggota dan berupaya mempertahankan kelompok 491 ini,” tukas Ibu Eti tentang alasannya bertahan jadi anggota kelompok 491.

Beberapa tahun dirundung TR membuat kelompok 491 sangat berhati-hati dalam menerima anggota baru. Hanya orang terdekat dan sudah dikenal kesehariannya yang bisa diterima jadi anggota. Seperti disampaikan Ibu Rini, yang telah mengajak putri dan adiknya menjadi anggota. Tak mengherankan bila anggota kelompok ini kebanyakan masih ada ikatan kekerabatan dan tinggal di Ambengan Batu.

Memang awal berdirinya kelompok 491 pada tahun 2002 ini oleh warga RW 1 Ambengan Batu. Namun dalam perjalanan banyak yang kemudian meninggal dan pindah tempat tinggal. Anggota awal terbentuk yang bertahan hingga saat inipun hanya Ibu Mariani dan Ibu Nasih. Bahkan dari 15 anggota saat ini, 10 diantaranya warga Ambengan Batu. (gt)