Ketidak jujuran dan ketidak terbukaan membuat kelompok 293 guncang. Bahkan dampaknya masih terasa hingga kini. Walau terungkapnya kasus tersebut sudah 3 tahun berlalu.

 

Tidak seperti biasanya, kehadiran anggota kelompok 293 pada pertemuan September nampak sedikit. Untuk memastikan jumlah anggota yang hadir sebagai syarat sahnya pertemuan, Ibu Roesyanto selaku PPL melihat absen. Satu persatu nama dibaca untuk memastikan siapa saja yang belum hadir. Tak ketinggalan Ibu Mahda Dewi selaku PJ I juga mencoba menghitung anggotanya yang hadir.

Saat itu dari 32 anggota, ada 18 nama yang sudah bertandatangan di absen. Dengan demikian agenda pertemuan kelompok bisa dijalankan karena sudah memenuhi qorum. “Tumben hari ini kok banyak yang tidak hadir. Bulan kemarin ruangan ini nampak penuh tapi sekarang longgar. Kalau banyak yang tidak hadir, kasihan teman-teman yang akan SPP nanti,” tukas Ibu Mahda Dewi, PJ I kelompok 293 mengingatkan anggotanya.

“Banyak yang sakit bu…mungkin dampak besaran (Idul Adha). Kebanyakan makan daging,” Celetuk salah satu anggota yang kemudian disambut tawa anggota lainnya seakan membenarkan pernyataan tersebut. Memang faktanya saat itu banyak yang ijin tidak bisa mengikuti pertemuan kelompok. Sebagian besar beralasan sakit, namun ada juga karena harus menghadiri keluarga yang punya hajat. Kendati demikian, mereka telah menitipkan pembayaran kewajibannya.

Namun ternyata ada satu anggota yang belum ada kabar tentang kehadirannya dan juga belum titip pembayaran kewajibannya. “Terus terang, kalau pembayaran kewajibannya belum lengkap, SPP tidak bisa dimusyawarahkan. Nanti kalau yang bersangkutan sampai akhir acara belum datang, kita harus bermusyawarah untuk memutuskan bagaimana menanggulangi kekurangan tersebut. Mosok kewajibannya belum kok sudah nuntut haknya,” ujar Ibu Roesyanto mencoba mengingatkan anggota kelompok 293.

Mendengar hal tersebut, PJ dan beberapa anggota langsung berinisiatif menelpon Ibu Rosydah, anggota yang belum ada kabar. “Orangnya masih dirumah karena masih ada tamu. Tapi ia sudah janji datang sekitar setengah jam lagi,” ujar salah satu anggota yang berhasil menghubungi.

Dikelompok yang selalu menjadwalkan pertemuan pada pukul 10 ini sudah bersepakat untuk toleransi pembayaran kewajiban paling lambat pukul 12.   Bila lebih dari itu berarti harus dilakukan TR. Sebagai konsekuensi bagi yang kena TR satu kali maka pengajuan pinjamannya akan ditunda sampai bulan berikutnya.

Sambil menunggu kedatangan Ibu Rosydah, acarapun terus berlanjut pada agenda berikutnya. Sampai akhirnya, yang ditunggu-tunggupun datang menjelang pukul 11.  Kontan saja, beberapa anggota mengomentari keterlambatannya. Tapi diantaranya juga ada yang memberi saran agar menitipkan kewajibannya terlebih dahulu bila terlambat. “Maaf tadi ada tamu, mosok atene ditinggal (masak mau ditinggal-red),” ujar Ibu Rosydah meminta pengertian anggota lainnya.

Dengan kedatangan Ibu Rosydah, berarti pertemuan saat itu tidak ada masalah dan musyawarah pengajuan pinjaman bisa dilakukan. Tidak membutuhkan waktu lama, keputusan besarnya pinjamanpun sudah bisa ditentukan. Tapi bagi mereka yang sering terlambat atau bahkan jarang hadir akan mendapat koreksi dari anggota saat musyawarah pengajuan pinjaman. Karena anggota sadar atas resiko yang akan dihadapi bila tidak berani menyampaikan pendapat tentang kondisi sebenarnya.

Pengalaman buruk akibat ketidak beranian menyampaikan pendapat pernah mendera kelompok ini. Bahkan kelompok 293 sampai kini masih terkena sanksi batasan pinjaman. “PJ yang lalu itu selalu marah-marah bila saya mencoba melakukan pengecekan kelengkapan setoran kewajiban. Anggotapun takut bersuara bahkan terkesan ada yang ditutup-tutupi. Kalau pertemuan itu duduknya anggota berkelompok-kelompok tidak menyatu. Itu kondisi kelompok 3 tahun lalu. Kalau sekarang anggota sudah terbuka dan berani menyampaikan pendapatnya. Karena mereka sadar akan resikonya bila tidak berani menyampaikan pendapat saat musyawarah,” ujar Ibu Roesyanto, PPL yang mendampingi kelompok 293 saat transisi PJ.

Ibu Roesyanto juga memaparkan bagaimana kejadian 3 tahun lalu. Disampaikannya waktu itu sudah terlihat gejala-gejala ketidak jujuran yang pada akhirnya terjadi kurang setor. Setelah ditelusuri, diketahui telah terjadi pendomplengan. Untuk masalah pendomplengan ini, tentu saja yang harus menanggung resiko dan bertanggungjawab atas pembayaran kewajiban tetap yang punya nama dan bertandatangan di SPH. Bila yang bersangkutan tidak bisa memenuhi kewajibannya maka akan menjadi tanggungjawab seluruh anggota kelompok. Karena kelompoklah yang menyetujui pengajuan pinjaman tersebut. Itulah sebabnya kejujuran dan keterbukaan serta keberanian mengemukakan pendapat saat musyawarah sangat dibutuhkan  agar resiko bisa diminimalisir.

Selain pendomplengan, ternyata PJ I yang lama juga terlibat dalam banyak kasus ketidak jujuran dan ketidak terbukaan. Diantaranya ada pemotongan saat pembagian SHU. Bahkan SHU kecil tidak pernah dibagikan. Setelah masalah ini terungkap, akhirnya pembagian SHU, langsung dimasukan ke simpanan sukarela masing-masing anggota. “Jumlahnya memang tidak seberapa tapi ini masalah kejujuran,” ujar salah satu anggota.

Bukan hanya itu, PJ I yang lama juga melakukan pemotongan pada setiap anggota yang SPP. Begitu pula TR yang sudah kembali, ternyata tidak dikembalikan kepada masing-masing anggota yang telah membayar TR. Bahkan untuk uang DKA juga tidak diserahkan kepada anggotanya yang terkena musibah. Dengan adanya berbagai kasus itu, PJ I tersebut akhirnya diganti walaupun sempat terjadi perlawanan yang mengakibatkan kondisi kelompok menjadi tidak nyaman.

Kini 3 tahun sudah peristiwa ketidak nyamanan itu telah berlalu. Anggota kelompok 293 dengan Ibu Mahda Dewi selaku PJ I, kini terus berbenah. Kejujuran, keterbukaan menjadi perhatian khusus dalam kelompok ini. Hal tersebut bisa dilihat saat musyawarah, dimana anggota selalu kritis pada setiap anggota yang mengajukan pinjaman. Tapi dibalik kekritisan itu pula, justru bisa menumbuhkan rasa saling percaya diantara anggota. Tak mengherankan bila kebersamaanpun semakin menguat.

Pekerjaan kelompok juga tidak terfocus pada PJ I. Untuk urusan penerimaan pembayaran kewajiban diserahkan pada Ibu Resti Budi selaku PJ II yang dibantu Ibu Muntiarti. Sedangkan Ibu Mahda selaku PJ I, focus pada proses pertemuan kelompok agar berjalan lancar. “Pokoknya saya nggak mau kalau diserahi pegang uang. Biarlah PJ II dan dibantu anggota yang menangani. Tapi untuk kontrol kelengkapannya, saya tetap melakukannya dengan dibantu PPL. Saya tidak ingin membawa uang lama-lama, pokoknya setelah pertemuan langsung setor,” ujar Ibu Mahda.

Anggota kelompok 293 yang sebagian besar bertempat tinggal dikawasan Krembangan ini memang sangat berharap, sanksi batasan pinjaman bisa segera berakhir. Karena sebagian besar anggota adalah pedagang yang membutuhkan modal untuk menggerakan usahanya. Tapi tentu saja semua itu kembali pada ketentuan yang berlaku di Kopwan SBW. Namun diharapkan kelompok 293 tidak sampai terjebak kembali pada masalah yang sama. Untuk itu, mau tidak mau, sistem tanggung renteng harus diterapkan secara benar. (gt)