PSBB di Surabaya memang sudah berakhir sejak 8 Juni lalu. Tapi kondisi belumlah normal. Sehingga pertemuan kelompok masih dilakukan secara online.Tapi anggota kelompok 455 rasanya sudah tidak tahan lagi.
Mejelang leberan menjadi harapan bagi Ibu Khodimah untuk mengais rejeki lebih banyak lagi. Karena disaat itulah akan banyak pemesanan jahitan. Tapi pandemi covid -19 telah membuyarkan rencananya. Tak ada satupun yang memesan penjahitan. Kondisi diperparah lagi oleh suami yang kerja serabutan itu ternyata juga sepi.Tanda-tanda itupun telah dirasakan sejak Maret lalu.
Beratnya kondisi ekonomi yang dialami membuat Ibu Khodimah kebingungan. Bahkan ia sempat menyampaikan ke kelompok untuk mengundurkan diri sebagai anggota. Karena ia tidak mau membebani teman-teman di kelompoknya. Tapi oleh kelompok, tidak diperbolehkan. Untuk itu, kelompok sepakat membantu pembayaran kewajibannya dengan cara di TR yang menggunakan tabungan kelompok.
“Kata teman-teman ….eman kalau harus keluar. Dan kalau saya pikir-pikir memang eman bila sampai keluar. Karena saya masih butuh SBW. Waktu saya masuk jadi anggota, anak saya yang terkecil masih SD. Sekarang ia telah lulus kuliah. Dan 3 kakaknya lulusan SMA. Setiap butuh biaya besar untuk sekolah anak.. larinya ya ke SBW. Isok dijagakno sewaktu-waktu kita butuh,” ungkap Ibu Khodimah.
Ibu Khodimah yang jadi anggota sejak tahun 2000 ini memang telah merasakan manfaatnya menjadi anggota SBW. Itulah sebabnya ia tidak ingin mengecewakan teman-temannya dalam satu kelompok. Bagaimanapun ia tetap berupaya agar kepercayaan yang telah diberikan teman-teman dikelompok bisa dipertahankannya.
“Alhamdulillah anak-anak bisa mengerti kondisi orang tuannya. Disaat sulit seperti ini mereka berupaya untuk membantu orang tuanya. Saya sendiri tetap berupaya bagaimanapun caranya agar bisa membayar angsuran ke koperasi. Pokoknya 3 hari sebelum pertemuan, saya upayakan sudah terbayar. Alhamdulillah suami juga sudah bisa jualan es di Joyoboyo,” ujarnya.
Tak jauh beda dengan Ibu Ngadinem. Ibu 8 cucu ini juga mengaku banyak memanfaatkan pinjaman untuk biaya pendidikan anak-anaknya. “Butuh sewaktu-waktu itu gampang dan cepet. Sewaktu anak-anak masih sekolah, hutang ke SBW kenek dijagakno buat bayar sekolah. Termasuk mbangun rumah ini. Tapi sekarang anak-anak sudah mentas dan berkeluarga semua, makanya saya jarang pinjam,” ujar Ibu Ngadinem yang sehari-harinya berjualan jamu keliling.
Meski sudah jarang pinjam, Ibu dari 4 putra ini mengaku enggan untuk keluar dari keanggotaan SBW. Menurutnya, ia sangat terkesan dengan rasa kekeluargaan dari kelompok 455. Hal ini wajar mengingat Ibu Ngadinem merupakan salah satu yang ikut membentuk kelompok 455 pada tahun 1999. Hingga saat ini anggota lama yang tersisa hanya Ibu Ngadinem dan Ibu Ali Hasan.
Memang hanya dengan sekilas saja, sudah bisa dirasakan kuatnya rasa kebersamaan dikelompok ini. Seperti dipertemuan Juni lalu yang bertempat dirumah Ibu Ngadinem. Walaupun semua kewajiban sudah tuntas sebelum pertemuan dan pengerjaan administrasi juga sudah beres, tapi nampaknya anggota tetap enggan meninggalkan tempat. Mereka tetap ngobrol dengan gayengnya seakan diantara mereka sudah lama tidak bertemu.
Padahal saat itu, Ibu Mona selaku PJ I, Ibu Diah PJ II dan Ibu Wido selaku PPL sudah mengingatkan agar ibu-ibu segera meninggalkan tempat. “Saya tidak ngusir, tapi kalau sudah selesai tanda tangan, ibu-ibu bisa pulang. Kalau kita kumpul-kumpul begini ya melanggar protokol kesehatan,” ujar Ibu Wido.
Ternyata peringatan itupun tidak dihiraukan anggota. Mereka tetap dengan gayengnya ngobrol. Tak mengherankan ruang tamu itupun semakin terasa sesak. Karena anggota yang sudah selesai tidak langsung pulang. Sementara anggota lainnya terus berdatangan. “Tenang… kita ini, ya dari sini-sini aja kok. Bumiarjo ini termasuk Kampug Tangguh dan zona hijau,” celetuk salah satu anggota.
Memang pada awalnya, kelompok 455 ini dibentuk oleh warga Kampung Bumiarjo dan Joyoboyo. Tapi dalam perkembangannya, ada beberapa anggota yang pindah dari kawasan tersebut. Tak mengherankan bila ikatan kekeluargaan diantara mereka begitu kental. “Enak an pertemuan seperti biasanya. Bisa kumpul dan ngobrol gayeng. Apalagi hari raya kemarin kita tidak bisa ketemu. Lha sekarang mumpung pertemuan ya…sekalian aja riyoyoan,” celetuk salah satu anggota.
Kampung Bumiarjo yang berada dikawasan Joyoboyo ini memang termasuk kampung padat penduduk. Kawasan perkampungan dengan gang-gang kecil bahkan sebagian tidak bisa dilewati sepeda motor. Seperti kampung di Surabaya pada umumnya yang padat penduduk, ikatan emosional antara warganya begitu kuat. Kondisi inilah yang terbawa dalam kelompok 455. Tak mengherankan bila anggota dikelompok 455 ini sudah seperti keluarga besar. Itulah sebabnya mereka merasa tidak sabar lagi untuk bisa melakukan pertemuan kelompok seperti biasanya. (gt)