Dalam banyak kesempatan, pengurus maupun pihak-pihak lain sering menyebut kata “Keluarga Besar SBW”. Penyebutan yang bermakna bahwa dalam SBW terdiri dari berbagai komponen dan komponen itu saling bersinergi seperti sebuah keluarga.

 

Bahagia, makmur dan sentosa tentu menjadi harapan setiap keluarga. Sayangnya tidak ada kehidupan tanpa ada masalah. Bahkan ada keluarga yang selalu dirundung masalah. Masalah bisa datang dari dalam maupun dari luar keluarga. Lalu bagaimana menyikapi sebuah masalah ? disinilah yang membedakan antara satu keluarga dengan keluarga lainnya.

Ada keluarga, dimana setiap masalah selalu dihadapi dengan marah-marah. Bahkan setiap permasalahan selalu berujung dengan baku hantam dan piring berterbangan. Keluarga yang demikian tentu tidak pernah bisa menyelesaikan permasalahan. Maka tak heran bila keluarga seperti ini juga selalu dirundung masalah. Karena satu masalah belum selesai, muncul lagi masalah lain. Bisa jadi masalah berikutnya merupakan dampak dari masalah sebelumnya yang tak terselesaikan.

Aturan dan nilai-nilai keluarga itulah yang membedakan antara satu keluarga dengan keluarga lainnya dalam menghadapi masalah. Semakin tidak jelas aturan dan nilai-nilai yang ada dalam keluarga, maka semakin bermasalah keluarga tersebut. Tapi tentunya komitmen terhadap aturan atau nilai – nilai keluarga juga memegang peranan penting. Tanpa ada komitmen dari setiap anggota keluarga, jelas aturan maupun nilai-nilai keluarga menjadi tanpa makna.

Kalau berbicara dengan orang yang lebih tua harus santun. Kalau ada masalah harus diselesaikan bersama dengan seluruh anggota keluarga. Kalau ada masalah tidak diobral di luar anggota keluarga. Diantara anggota keluarga harus saling menolong dan melindung. Itulah diantara aturan atau nilai-nilai  dalam keluarga. Sehingga muncullah istilah “anak tidak tahu aturan” ataupun “anak kurang ajar”. Kalimat-kalimat demikian merupakan salah satu bentuk sanksi moral bagi pelanggar nilai-nilai.

Apapun bentuk aturan dan bagaimanapun nilai-nilai yang dianut oleh suatu keluarga, yang jelas ikatan emosional merupakan pemersatu diantara anggota keluarga. Ikatan emosional ini terbentuk karena adanya kedekatan secara fisik dalam kurun waktu lama. Dari ikatan emosional dan kedekatan fisik inilah yang kemudian membentuk kesepakatan-kesepakatan baru antar anggota keluarga.

”Apapun yang terjadi pada anak saya, yang jelas saya akan lebih berpihak pada anak saya,” kata orang tua. ”Saya tidak rela dan saya akan marah  kalau Ibu saya, di jelek-jelekan seperti itu,” kata anak. Hal-hal tersebut sebagai bukti adanya ikatan emosional antara anak dan orang tuanya. Maka dikatakan anak kurang ajar bila kemudian ada anak menjelek-jelekan orang tuanya dimuka umum.

Dari adanya kedekatan fisik yang lama akan memunculkan ikatan emosional diantara anggota keluarga. Tapi juga tidak bisa dipungkiri diantara anggota punya kepentingan berbeda sebagai pemicu terjadinya konflik. Kendati demikian konflik bisa diminimalisir karena adanya ikatan emosional yang kemudian diwujudkan dengan munculnya kesepakatan-kesepakatan baru. Kesepakatan-kesepakatan inilah yang akan melindungi keluarga dari perpecahan atau disharmoni.

Hal tersebut tentunya juga tak jauh beda dengan keluarga besar yang bernama Kopwan SBW. Kedekatan emosional dalam keluarga besar ini dibangun melalui pertemuan kelompok setiap bulan. Kemudian ditingkat koperasi ada temu wicara dan rapat anggota. Diforum itulah dialog antar anggota keluarga dilakukan. Berbagai masalah dibahas dan dituntaskan.

Memang tidak bisa dipungkiri, kepentingan – kepentingan individu dalam keluarga besar ini juga muncul. Untuk menghindari benturan kepentingan tersebut, diperlukan aturan dan tata nilai.  Sebagai lembaga koperasi, tentu aturan dan tata nilai tidak lepas sebagaimana koperasi umumnya. Sedang sebagai koperasi yang menerapkan system tanggung renteng, tentu keluarga besar ini juga tidak bisa lepas dari aturan maupun tata nilai dari system tersebut. Dan tata aturan maupun tata nilai tersebut mengikat pada semua anggota keluarga besar Kopwan SBW.

Lalu bagaimana kalau ada anggota yang tidak menjalankan tata aturan dan tata nilai tersebut ? System yang sudah menjadi kesepakatan bersama dari seluruh anggota keluarga besar ternyata diabaikan. Tidak cukup hanya itu, polah tingkah itupun ditularkan pada yang lain. Belum puas dengan hal tersebut, keluarga besar inipun dijelek-jelekan dimuka umum. Bila demikian masih bisakah mereka disebut sabagai bagian dari keluarga besar Kopwan SBW. Padahal yang dinamakan bagian dari keluarga besar, akan selalu ikut menjaga esistensi dan nama baik keluarga.

Jangan-jangan makna keluarga besar Kopwan SBW saat ini telah bergeser. Bukan lagi ikatan emosional sebagai keluarga yang menjadi pemersatu. Jangan-jangan semangat kebersamaan yang digembar-gemborkan saat ini hanya menjadi slogan belaka. Nasib sama dengan tata nilai tanggung renteng, jangan-jangan bukan lagi menjadi nilai yang jadi pegangan keluarga besar ini. Orang-orang yang ada dalam keluarga besar ini lebih memikirkan dirinya tanpa melihat bahwa dirinya adalah bagian dari keluarga besar. Mari kita renungkan bersama, haruskah keluarga besar Kopwan SBW ini menjadi keluarga broken home. (gt)