Pandemi Covid -19 telah banyak menuntut perubahan dalam tata kehidupan. Tak terkecuali dalam penerapan sistem tanggung renteng yang mewajibkan adanya pertemuan kelompok.
Pada tahun lalu Puskowanjati, Kopwan Setia Bhakti Wanita, Kopwan Setia Budi Wanita dan Dekopin telah mengadakan diskusi. Ada satu pertanyaan yang dicoba untuk dicari jawabannya dalam diskusi tersebut. Masih relevankah sistem tanggung renteng di era digital atau di era industri 4.0.
Pembicaraan saat itu banyak terfocus pada masalah pertemuan kelompok yang merupakan kewajiban yang harus dipenuhi dalam penerapan sistem tanggung renteng. Permasalahannya, di era milenial ini mobilitas masyarakat semakin tinggi dan waktu yang dimiliki menjadi sangat terbatas. Dampak salah satunya, banyak masyarakat yang ingin jadi anggota tapi kemudian mundur karena tidak bisa mengikuti pertemuan kelompok.
Sampai dengan usainya diskusi, tantangan sistem tanggung renteng di era milenial belum menemukan jawabannya. Faktanya, pertemuan kelompok merupakan kewajiban yang harus dilakukan. Karena proses dalam pertemuan kelompok itulah yang menjadi inti dari sistem tanggung renteng. Didalam pertemuan kelompoklah, hak dan kewajiban anggota dilaksanakan.
Sementara masalah kendala untuk hadir di pertemuan kelompok, sebetulnya juga sudah ada sejak dulu. Itulah sebebnya dalam proses pertemuan kelompok, ada mekanisme musyawarah untuk menetapkan tanggal dan jam pertemuan dibulan berikutnya. Cuma permasalahannya sekarang bagaimana pertemuan kelompok bisa berjalan efektif dan tak butuh waktu lama.
Begitu pula dalam masalah pelayanan dikantor koperasi. Persoalannya bagaimana pelayanan bisa lebih sederhana sehingga anggota tidak perlu antri berlama-lama. Tapi bagaimana formulasinya, hal tersebut belum terjawab dalam diskusi tersebut. Namun diluar dugaan, Pandemi Covid -19 yang dirasakan sejak Maret lalu, seakan memaksa untuk bisa menjawab persoalan-persoalan tersebut.
PSBB yang diberlakukan di Surabaya Raya sejak Maret, seakan memaksa harus ada perubahan dalam penerapan sistem tanggung renteng. Karena ada protokol kesehatan yang harus dipatuhi untuk memutus rantai penularan Covid -19. Pakai masker, jaga jarak minimal 1 meter dan tidak boleh ada kerumunan itulah diantara kententuannya. Padahal semua ketentuan itu sangat tidak mungkin dilaksanakan dalam proses pertemuan kelompok.
Dipertemuan kelompok, semua keputusan yang diambil harus melalui proses musyawarah yang membutuhkan interaksi aktif anggota. Kata sepakat yang telah dibuat harus dibuktikan secara tertulis dan tanda tangan setiap anggota yang hadir. Kemudian keputusan dianggap sah bila yang bertanda tangan minimal 50 % dari jumlah anggota ditambah 1 anggota. Sehingga social distancing sangat tidak mungkin diterapkan dalam pertemuan kelompok.
Ketentuan jaga jarak apalagi. Dalam pertemuan kelompok, setiap anggota yang datang akan menghadap ke PJ untuk mengetahui jumlah kewajibannya yang harus dibayar. Kemudian anggota melaksanakan pembayaran kewajibannya kepada PJ. Dalam proses ini jelas terjadi kontak langsung antara PJ dan anggota.
Belum lagi obrolan anggota dengan teman disampingnya sambil menunggu pertemuan dimulai. Tentu terasa tidak nyaman bila ngobrol dan menikmati hidangan dengan tetap mengenakan masker. Sudah tidak pakai masker, kemudian tidak jaga jarak atau phisyical distancing maka resiko terjadinya penularan akan sangat tinggi.
Kendati demikian pertemuan kelompok harus tetap dilakukan. Karena terjadinya proses pelaksanaan hak dan kewajiban anggota itu, ada didalam pertemuan kelompok. Tapi resiko penularan covid-19 pada anggota juga tidak boleh terjadi. Dari dilematis itu, akhirnya memunculkan kebijakan untuk mengadakan pertemuan kelompok tanpa bertemu.
Dalam sebuah keterpaksaan, ternyata pertemuan kelompok tanpa bertemu bisa dilaksanakan. PJ I, PJ II dan PPL bertemu sesuai dengan jadwal dan tempat pertemuan yang telah disepakati pada bulan sebelumnya. Dalam pertemuan itu, PJ bersama PPL melakukan pengecekan semua berkas mulai dari bukti pembayaran kewajiban hingga penanda tanganan. Pendek kata apa yang dilakukan PJ dan PPL saat itu tak ubahnya pertemuan kelompok biasanya.
Bedanya saat pertemuan itu tidak terlihat kehadiran anggota dalam jumlah banyak. Dipertemuan tersebut, anggota datangnya satu per satu. Setelah menyelesaikan kewajibannya, anggota dipersilahkan langsung pulang. Kebanyakan anggota sudah mentransfer kewajibannya ke rekening PJ di hari sebelumnya. Dengan demikian tidak sampai terjadi kerumunan yang melanggar protokol kesehatan.
Sementara proses musyawarah dilaksanakan secara online dihari sebelum jadwal pertemuan kelompok. Beberapa kelompok memanfaatkan vedio call agar bisa bertatap muka walau secara virtual. Tapi kebanyakan kelompok memanfaatkan group WA. Diantara alasannya, dengan WA, semua percakapan akan terdokumentasi secara tertulis. Dalam proses ini akan dipantau PPL. Itulah sebabnya sebelum pola ini diterapkan, banyak PPL yang meng up grade HPnya dengan memory yang lebih besar.
Anggota yang datang langsung menghadap PJ untuk menanda tangani daftar hadir dan persetujuan SPP yang telah dimusyawarahkan dihari sebelumnya. Sementara untuk anggota yang belum transfer kewajibannya, bisa dibayarkan saat itu. Saat hadir itu, anggota juga menandatangani form pengambilan simpanan kelompok, ketika terjadi TR. Disamping itu anggota yang SPP juga menandatangani surat kuasa kepada PJ untuk menandatangani SPHnya. Sehingga anggota tidak perlu lagi datang ke kantor SBW, karena realisasi pinjaman bisa langsung ditransfer ke rekeningnya.
Dengan pola tersebut maka pertemuan kelompok bisa dilaksanakan tanpa harus bertemu dengan anggota dalam jumlah banyak. Anggota yang hadir di pertemuanpun tidak perlu berlama-lama sehingga ia bisa segera kembali pada aktivitasnya. Nampaknya penerapan sistem tanggung renteng dimasa pandemi Covid -19 ini perlu dipertimbangkan dimasa mendatang.
Tapi tentu saja esensi dari sistem tanggung renteng tersebut tidak boleh hilang. Diantaranya prinsip bahwa kelompok harus tetap menjadi tanggung jawab seluruh anggota dalam kelompok. Dalam prosesnya harus tetap menjadi sistem pembiasaan dan pembelajaran sehingga terjadi perubahan sikap dan perilaku yang positif sebagaimana nilai-nilai tanggung renteng. Apapun perubahan yang dilakukan, sistem tanggung renteng harus tetap sebagai sistem pengaman asset. (gt)