Karena berasal dari Bandung, banyak yang menyapanya dengan panggilan Teh Rina. Panggilan itu pula yang dijadikan merk produknya. Itulah Ibu Rina Floretta anggota kelompok 114 dengan produknya baso tahu, siomay dan batagor.

Di gerai di Pondok Candra - Sidoarjo
Di gerai di Pondok Candra – Sidoarjo

Mengikuti suami atau menekuni usaha. Itulah dua opsi yang harus dipilih salah satu oleh Ibu Rina Floretta. Bagi Ibu Rina, membuat pilihan tersebut tentu bukanlah hal mudah. Karena keduanya mempunyai bobot yang hampir sama. Satu sisi akan terkait dengan keharmonisan rumah tangga. Sedang sisi lainnya terkait dengan ekonomi yang telah dirintisnya sejak 1996.

Sebagai anggota Kepolisian memang harus siap ditugaskan dimana saja. Begitu pula dengan suami Ibu Rina yang saat itu mendapat tugas di wilayah lain yang jauh dari Surabaya. Sebagai istri, dia harus mendampingi suami ditempat tugasnya yang baru. Tapi di sisi lain, usahanya di bidang kuliner saat itu juga sudah cukup dikenal masyarakat.

“Ini memang pilihan yang susah. Tapi sebagai istri, saya harus mengutamakan suami. Kalau kita tidak memperhatikan suami, lantas kalau ada orang lain yang memperhatikan suami kita bagaimana..? tentu ini akan terkait dengan keharmonisan keluarga kita. Saya tidak mau itu terjadi. Makanya saya lebih memilih ikut mendampingi suami ditempat tugasnya yang baru. Apalagi saat itu sering berpindah-pindah tempat tugas,” papar Ibu Rina yang akrab dipanggil Teh Rina ini.

Pilihannya memang mendampingi suami. Tapi untuk usaha juga tidak ditinggalkan begitu saja. Pertimbangan Teh Rina saat itu, karena usahanya sudah jalan maka bisa dimonitor dari jauh. “Saya itu merintis usaha ayam kremes sejak 1996. Waktu itu saya berfikir bagaimana punya usaha sehingga bisa membantu suami dalam menopang ekonomi keluarga. Alhamdulillah usaha tersebut bisa berkembang. Bahkan ditahun itu saya sudah mengembangkan system delivery order. Untuk pengiriman itu, dibantu oleh anak-anak saya,” ungkap ibu 4 putra satu cucu ini.

Ayam kremes Borobudur, itulah lebel yang digunakannya. Rasa yang special, membuat ayam kremes produk Ibu Rina ini semakin lama semakin banyak peminatnya. Bahkan dalam satu hari  bisa menghabiskan 100 ekor ayam. Tapi kondisi berubah, tatkala ia harus mendampingi suami ditempat tugas yang baru pada tahun 2008.

Menejemen jarak jauh yang dicoba diterapkan oleh Ibu Rina dalam mengelola usaha tersebut ternyata tidak bisa berjalan efektif. Semakin hari semakin banyak keluhan, karena kualitas produknya yang semakin menurun. Sementara disisi lain, produk sejenis terus bermunculan sebagai pesaing. Akibatnya omsetpun terus merosot.

“Daripada terus merugi dan semakin tidak terkontrol, akhirnya usaha itu saya tutup. Sejak itu saya lebih focus pada kegiatan Ibu Bhayangkari diwilayah tugas suami saya. Sampai akhirnya suami saya kembali bertugas di Surabaya. Saat itulah mulai terfikir kembali untuk mulai merintis usaha. Walaupun harus dari nol lagi,” ungkap istri Kapolsek Sukolilo ini.

Walaupun pernah sukses dalam usaha ayam kremes, tapi Teh Rina tidak ingin memulai usaha dengan produk yang sama. Ide dan potensi terus digali untuk menemukan produk special yang nantinya bisa diminati masyarakat.

“Saya itu berasal dari Bandung, makanya saya mencoba menggali ide dari situ. Saya berfikir makanan apa asal Bandung yang enak dan disukai masyarakat. Sehingga kalau ingin menemukan makanan enak asal Bandung di Surabaya ini ya.. produk saya yang akan dicari. Itulah image yang ingin saya kembangkan untuk produk baru saya itu,” tukasnya.

Berbagai kuliner andalan asal Kota Kembang Bandung diinventarisir. Berbagai informasi terkait dengan itu dikumpulkan bahkan dicoba untuk membuatnya. Tak jarang ia juga harus browsing di youtube untuk mengetahui cara pembuatannya. Sampai akhirnya menemukan produk yang cocok untuk bisa dikembangkannya. Baso tahu, siomay dan batagor itulah produk yang dipilih untuk dikembangkan.

Kendati sudah menemukan produk pilihannya, Teh Rina tidak langsung melemparkan kepasar. Mencoba dan terus mencoba untuk menemukan formulasi yang tepat selalu dilakukan. Hasil kreasi itupun selalu dibawa keberbagai tempat kegiatannya. Hal ini dilakukan untuk uji kelayakan produknya.

“Hasil uji coba pembuatan itu selalu saya bawa kemanapun ada kegiatan saya. Mulai ke tempat perkumpulan pengajian, kegiatan Bhayangkari sampai ke pertemuan kelompok SBW. Sampai akhirnya ada teman yang mengatakan, udah teh ini sudah pas. Itu tandanya formulasi yang saya buat sudah cocok dilidah masyarakat dan itu yang jadi standartnya hingga sekarang,”ungkap Ibu Rina yang tergabung dalam kelompok 114.

Sejak itu pula siomay Teh Rina mulai dipasarkan walau masih dikalangan terbatas. Disinilah Teh Rina merasakan arti bahwa banyak teman akan banyak rejeki. Berbagai perkumpulan yang diikuti dijadikan ajang pemasaran produknya. Tidak itu saja, bazar yang diadakan pemerintah maupun perusahaan juga dimanfaatkan untuk pengembangan pasarnya.

Sampai akhirnya mulai terfikir harus ada identitas untuk produknya. Karena diberbagai tempat ia sering disapa dengan panggilan “Teh Rina” maka sapaan itu pula yang dijadikan lebel produknya. Kemudian terfikir pula bahwa harus ada tempat yang pasti dimana masyarakat bisa mendapatkan produk Teh Rina.

“Saya pinjam SP 1 ditambah SP 2 untuk modal awal. Diantaranya dana itu saya gunakan untuk membuat 4 rombong dengan identitas khusus Teh Rina yang didominasi warna kuning. Pada 2011 itu saya mulai buka di JMP, ITC, PGS dan Royal Plaza. Ditempat itulah kita jual baso tahu, siomay dan batagor,” tukasnya.

Tapi memang perjalanan usaha tidak selalu berjalan mulus. Hal ini juga dialami Teh Rina. Dalam satu tahun berjalan, stan di ITC terpaksa ditutup karena pembiayaannya terlalu besar dibanding pendapatan. Kemudian pada tahun 2013 buka lagi di Metropolitan Mall Sidoarjo tapi itupun tidak bertahan satu tahun. Akhirnya buka lagi di Sun City dan berjalan hingga sekarang.

Untuk pengembangan lebih lanjut, Ibu Rina juga membuka stand di Pondok Chandra didekat rumahnya. Di stand tersebut tidak hanya menjual baso tahu, siomay dan batagor. Tapi disana juga ada ayam goreng kalasan, nasi timbel, nasi bakar bahkan juga menerima pesanan nasi tumpeng.

“Untuk pengembangan produk, kita juga menggunakan system frozen sehingga bisa tahan sampai 3 bulan. Karena saat ini produk kita tidak hanya di Surabaya dan Sidoarjo tapi sudah sampai ke berbagai kota besar di Pulau Jawa. Bahkan juga ada pesanan rutin dari Sumatra dan Kalimantan. Pesanan yang banyak juga dari catering. Apalagi jika musim hajatan,” papar Ibu Rina yang kini juga menjadi Ketua Ranting Bhayangkari.

Untuk kegiatan usaha ini, Ibu Rina telah melibatkan 12 orang karyawan. Sedangkan untuk omset, Ibu Rina memang tidak bisa menyebutkan angka pastinya. Tapi yang jelas omset sudah mencapai puluhan juta per bulannya.(gt)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.