Gedung SBW

Berkembang dengan derap kebersamaan. Benarkah kalimat tersebut sudah menjadi semangat dan jiwa keluarga besar SBW atau hanya sekedar kalimat yang dijadikan motto. Sejarahlah yang akan membuktikannya.

Diusianya yang 39 tahun ini, asset Kopwan SBW telah mencapai ratusan milyar rupiah. Tapi, mungkin hanya sebagian anggota yang tahu bahwa modal awal saat terbentuk hanya sebesar Rp 300 ribu. Modal tersebut terkumpul dari simpanan para anggota yang saat itu terdiri dari 35 ibu. Dari modal itu pula kemudian bisa dipinjamkan kepada 6 anggota dan terus bergulir.

Memang bila melihat angka-angka capaian dari asset dan omset saat ini, bukanlah hal yang luar biasa. Karena semua itu dicapai dalam waktu 39 tahun. Selain itu, masih banyak koperasi yang asset dan omsetnya telah mencapai angka triliun rupiah meskipun usianya belum mencapai 30 tahunan. Tapi tahukah, bahwa capaian Kopwan SBW saat ini telah mengalami perkembangan sekitar 1/2 juta kali dari kondisi awal pada 39 tahun lalu.

Kopwan SBW benar-benar diawali dari kecil yang kemudian bisa tumbuh dan berkembang secara mandiri dengan semangat kebersamaan. Dalam sejarah perjalanan Kopwan SBW, telah terjadi beberapa kali moment penting yang membuktikan tingginya semangat kebersamaan. Bolehlah dikatakan moment-moment tersebut sebagai monumen kebersamaan Kopwan SBW.

Diawal berdiri, ada Ibu Tatiek Yudara yang merelakan rumahnya sebagai basis kegiatan Kopwan SBW. Kemudian untuk anggota yang bergabung sebelum 1986 tentu juga masih ingat bagaimana perjuangan untuk bisa memiliki gedung kantor sendiri. Saat itu anggota telah mencapai sekitar 3000 an. Anggota waktu itu rela tidak terima SHU selama 5 tahun demi bisa memiliki gedung sendiri.  Akhirnya pada tahun 1988 gedung di Jl. Jemur Andayani, 55 tersebut berhasil berdiri dan diresmikan oleh Bapak Bustanil Arifin, Menkop kala itu. Inilah monumen kebersamaan keluarga besar Kopwan SBW.

Gedung SBW

Kebersamaan kembali dibuktikan ketika gedung kantor pertama dirasa sudah tidak memadai lagi. Seperti pada pembangunan gedung I, rencana pembangunan gedung II inipun dipaparkan dihadapan para anggota. Termasuk dalam hal ini tentang masalah kebutuhan dana. Dari paparan itu akhirnya anggotapun sepakat untuk menyumbang sebesar Rp 16 ribu per anggota yang diangsur 5 kali. Saat itu anggota telah berjumlah 6.200 orang. Dan gedung II ini berhasil diresmikan tahun 1996.

Begitu pula ketika krisis ekonomi melanda pada tahun 1997, dimana suku bunga bank melonjak. Tentu saja koperasi ini juga ikut terimbas. Karena dengan adanya sistem plafon dalam penentuan besarnya pinjaman anggota, maka mau tidak mau koperasi ini selalu butuh dana segar. Saat itu dana pinjaman pada bank sebesar Rp 1,6 milyar dan setiap bulannya harus membayar bunga sebesar Rp 96 juta. Tentu saja suku bunga bank tersebut sangat membebani keuangan Kopwan Setia Bhakti Wanita.

”Saya saat itu sempat ragu ketika akan memaparkan masalah tersebut pada anggota. Bagaimana memulai pembicaraannya, apa anggota bisa menerima? Tapi kalau tidak disampaikan, jelas masalah itu akan mengguncang kondisi SBW. Itulah yang bergelayut di benak saya saat itu. Tapi dengan membaca Basmalah, saya bulatkan tekad agar permasalahan tersebut dapat diketahui anggota. Dan diluar dugaan, ternyata setelah mendengar paparan saya, para anggota justru sepakat agar hutang di bank tersebut dilunasi, supaya tidak menjadi beban. Sebagai konsekuensinya anggotapun sepakat urunan Rp 240 ribu per anggota yang diangsur 10 kali. Terus terang saat itu saya sangat terharu. Begitu besarnya sense of  belonging anggota” ungkap Ibu Yoos Lutfi menahan haru mengenang peristiwa tersebut.

Kemudian ditahun 2007 ada tekad bersama untuk mandiri dalam permodalan dan mengurangi ketergantungan pada pihak ketiga. Namun untuk hal itu juga tidak mungkin dilakukan seperti ketika membangun gedung. Karena yang namanya permodalan ini kebutuhannya terus menerus. Sehingga muncullah gagasan tentang Dana Bhakti Anggota (DBA) yang kemudian juga dikenal sebagai dana pensiun anggota.

DBA ini tidak menarik langsung dana dari anggota, tapi dengan melakukan penyisihan jasa. Jadi sebetulnya saat itu telah dilakukan penurunan jasa sebesar 2,5%, cuma tidak bisa dinikmati langsung oleh anggota. Karena hasil dari penurunan jasa tersebut dimasukan dalam simpanan DBA atas nama masing-masing anggota. Sehingga anggota merasa tidak membayar DBA, tapi simpanan masing-masing anggota akan terus bertambah seiring dengan jasa yang dibayarkan. Sampai dengan akhir Desember 2016 jumlah DBA telah mencapai Rp 20,3 milyar.

Terkait dengan DBA ini, beberapa anggota mulai mengotak-atik pada 2 periode terakhir kepengurusan. Diantaranya ada yang minta agar DBA dihentikan. Ada pula yang minta DBA diberi jasa dan diperhitungkan pada SHU. Sampai ada pula yang menuntut adanya penurunan jasa karena permodalan sudah banyak ditopang oleh DBA. Dari tuntutan tersebut, hanya tuntutan penghentian DBA yang belum direalisasi. Karena bagaimanapun, kebutuhan dana akan terus meningkat seiring dengan perkembangan Kopwan SBW.

Rasa kebersamaan juga dibuktikan ketika ada anggota yang mengalami musibah. Kotak sumbanganpun cepat terisi penuh dan jumlah dana yang terkumpul dari anggota mencapai puluhan juta. Begitu pula bila ada anggota ataupun keluarga inti yang meninggal dunia maka setiap anggota menyisihkan Rp 200,-. Dana santuanan dari uang recehan anggota inipun bisa terkumpul sampai Rp 2 juta lebih yang kemudian disebut sebagai Dana Kebersamaan Anggota (DKA).

Disamping itu juga ada Dana Tolong Menolong (DTM) untuk melunasi pinjaman anggota yang meninggal dunia. DTM ini berasal dari pemotongan sebesar 0,05% dari nilai pinjaman SP 1, SP 2, dan PHR  atau minimal Rp15 ribu. Keputusan ini mulai berlaku pada 2016 untuk menggantikan Takaful yang ternyata tidak bisa mengcover semua anggota.

Kebersamaan anggota Kopwan SBW memang tidak perlu diragukan lagi walaupun kini ada pergeseran. Kalau dalam perjalanan sebelumnya, anggota rela berkorban demi koperasinya, kini mulai ada kecenderungan pergeseran yang mengarah pada tuntutan. Hal ini memang wajar, selama tuntutan tersebut tidak sampai melemahkan atau justru menghambat perkembangan koperasinya. Memang koperasi hanyalah sebuah alat perjuangan untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Tapi kalau alat itu sendiri dilemahkan, tentu pada akhirnya tujuan perjuangan itupun akan sulit dicapai.

Sejarah telah membuktikan, hanya karena rasa memiliki yang tinggi dan semangat kebersamaanlah yang membuat Kopwan SBW bisa eksis hingga saat ini. Kini koperasi yang telah berusia 39 tahun ini, akankah terus berkembang atau sebaliknya ? Tentu jawabnya bergantung pada kadar rasa memiliki dan semangat kebersamaan dari keluarga besar Kopwan SBW sendiri. (gt)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.