Proses pertemuan kelompok yang berlarut-larut, tentu akan membuat anggota tidak nyaman. Terutama bagi anggota yang bekerja, semakin lama proses pertemuan akan membuatnya semakin gelisah. Belum lagi, bila pada saat yang sama juga berbenturan dengan keperluan lain yang lebih penting dan mendesak. Masalah inilah yang kemudian menjadi bahan diskusi PJ dengan mengangkat tema “efektifitas komunikasi di kelompok”.

Diskusi PJ yang melibatkan seluruh PJ itu diselenggarakan selama 4 hari yang dimulai pada 25 September. Setiap hari ada enam kelas dimana setiap kelas diisi 20 sampai 25 PJ yang didampingi 1 pengurus dan 2 PPL.  Dari 449 PJ yang diundang, ternyata ada 14 PJ yang tidak hadir.

Dari diskusi tersebut, banyak persoalan yang diangkat untuk menjadi pembelajaran bersama. Diantaranya tentang kedisiplinan dalam kehadiran yang merupakan masalah terbanyak. Karena memang tidak bisa dipungkiri, saat ini memang banyak anggota yang mulai disibukan oleh pekerjaan mencari nafkah. Mulai dari yang wirausaha hingga bekerja disebuah perusahaan.

Beberapa kelompok yang mengalami hal sama, ternyata bisa menyiasatinya dengan membuat peraturan kelompok. Diantaranya disampaikan dengan membuat ketentuan bila tidak hadir 3 kali berturut-turut maka SPP ditunda sampai bulan berikutnya. Dalam hal ini, untuk yang bekerja bisa ditoleransi dengan kehadiran berselang. Sehingga kehadiran tidak sampai 3 kali berturut-turut.

Kendati demikian, proses pertemuan kelompok yang terlalu lama tentu akan mengganggu mereka yang punya kesibukan tersebut. Untuk itulah, PJ dalam hal ini dituntut ketegasannya dalam memulai pertemuan sesuai yang dijadwalkan. Bila proses pertemuan tidak terlalu bertele-tele maka waktu yang dibutuhkan sebetulnya paling lama 2 jam.

Disamping masalah kidisiplinan waktu, pembagian tugas pada beberapa anggota akan bisa mengefektifkan pertemuan. Bukankah eksistensi kelompok merupakan tanggung jawab bersama seluruh anggota dalam satu kelompok. Artinya tidak ada keharusan untuk semua pekerjaan baik keuangan ataupun administrasi dikelompok hanya ditangani oleh PJ seorang. Dalam hal ini pola komunikasi PJ akan sangat menentukan agar anggotanya ikut berperan aktif dalam proses pertemuan kelompok.

PJ yang keras dan sering mengucapkan kata-kata kasar ataupu ancaman tentu akan menyurutkan nyali anggotanya untuk aktif dalam proses. Pola komunikasi PJ yang demikian tentu tidak kondusif bagi kelompok karena akan menghambat proses transparansi dan demokrasi. Dengan demikian, permasalahan kelompok cenderung muncul yang akan meledak ketika terjadi TR terus menerus. (gt)