Musyawarah adalah inti dari pelaksanaan sistem tanggung renteng. Tak mengherankan, bencanapun terjadi ketika musyawarah hanya sekedar menjadi ritual pengajuan pinjaman. Berikut ini pengalaman kelompok 017.
Pertemuan kelompok 017 memang telah dijadwalkan pukul sepuluh. Tapi ketika jarum jam menunjukkan angka sepuluh, belum nampak aktivitas mencolok dirumah yang berada di ujung Jl Kembang Kuning Kulon gang Lebar. Kursi yang dijajar diteras rumah, masih nampak kosong. Sedang di ruang tamu nampak sekitar 4 ibu yang sibuk melakukan aktivitas pembayaran kewajiban.
Setiap anggota yang baru datang, langsung menemui Ibu Dita selaku PJ I untuk mengambil kitir pembayaran yang telah diletakkan dalam box. Kitir itu kemudian diserahkan kembali beserta uang pembayarannya kepada PJ I. Aktivitas inipun terus berlangsung sampai jam di dinding menunjukkan pukul setengah dua belas. Di tengah aktivitas itu pula, terjadi pembahasan besaran plafon kelompok.
“Hari ini plafon kelompok hanya tersisa Rp 20 juta. Untuk bisa menambah plafon ini kita harus menambah simpanan wajib atau menambah angsuran. Tapi bisa juga ibu-ibu yang saat ini masih masa tenggang, tetap mau membayar angsuran. Kalau tidak, SPP nya harus ada yang ngalah. Karena jelas tidak cukup untuk 3 orang yang mengajukan SPP hari ini,” tukas Ibu Kuntowati selaku PPL yang mencoba mencarikan solusi masalah keterbatasan plafon kelompok pada pertemuan September lalu.
Saat itu Ibu Ana yang masih mempunyai hak tenggang, akhirnya memutuskan untuk tidak menggunakan haknya tersebut. Dengan demikian ia membayar angsuran pertamanya sehingga plafon kelompokpun bisa terdongkrak. Tapi nampaknya itupun masih belum mencukupi. Untuk itu ditawarkan kembali kepada seluruh anggota yang hadir agar menambah simpanan wajib ataupun angsuran. Karena saat itu, total SPP yang diajukan sebesar Rp 27 juta untuk 3 anggota.
Memang sejak Nopember tahun lalu, kelompok 017 tengah dirundung masalah yang berakibat pada penurunan indeks plafon kelompok. Sanksi kelompok ini terjadi karena adanya pendomplengan yang dilakukan PJ I waktu itu. Tidak tanggung-tanggung ia mendompleng 19 nama anggota dengan nilai pinjaman sekitar Rp 177 juta.
“Saya itu jarang pinjam. Tapi Ibu PJ waktu itu datang ke rumah untuk meminjam SP 1 saya. Karena kasihan, ya.. saya berikan. Waktu itu dia bilang agar tidak ngomong-ngomong pada anggota yang lain. Saat pertemuan, seolah-olah saya yang mengajukan tapi uangnya yang menerima Ibu PJ waktu itu. Pertama aman sampai lunas. Sehingga kedua kalinya terjadi lagi dengan nilai lebih besar, juga bisa sampai lunas. Tapi yang ketiga mulai bermasalah dan tidak ada kabar beritanya,” ujar Ibu Tatik, salah satu korban oknum PJ I.
Modus yang sama juga terjadi pada Ibu Salamah dan anggota lainnya termasuk juga Ibu Dita, PJ I kelompok 017 yang telah dipilih anggota untuk menggantikan PJ I yang bermasalah. “Saya itu kena SP1, SP2 dan SP3. Karena saat itu saya memang jarang pinjam. Daripada fasilitas itu nggak dipakai, ya.. akhirnya saya pinjamkan. Toh nanti SHU nya masuk ke saya. Tapi ternyata kejadiannya seperti ini. Ya..saya harus tetap bertanggung jawab walaupun tidak ikut merasakan uangnya,” tukas Ibu Dita.
Kasus pendomplengan ini terungkap pada pertemuan Nopember 2015. Karena saat itu, oknum PJ I tersebut tidak hadir di pertemuan kelompok sehingga terjadi TR. Begitu besarnya nilai TR, membuat anggota resah yang akhirnya satu per satu anggota mengaku telah didomplengi. Rentetan berikutnya, kelompok 017 tidak mampu memenuhi kewajibannya secara penuh yang kemudian berakibat turunnya sanksi kelompok.
Tanda-tanda itu sebetulnya sudah mulai terlihat pada pertemuan bulan Oktober, dimana ia terlambat datang di pertemuan kelompok. Keterlambatan itu karena ia berupaya menggadaikan mobil temannya agar bisa menutup kewajiban dirinya termasuk nama-nama yang didomplengi. Sementara pada pertemuan bulan Nopember, ia sudah tidak menemukan jalan untuk mendapatkan dana lagi.
Sebetulnya, rasa kebersamaan dan rasa tanggung jawab anggota kelompok 017 cukup tinggi. Sayangnya potensi tersebut telah disalah gunakan oleh PJ I waktu itu. Rasa kesal, kecewa jelas dialami, tapi rasa tanggung jawab telah mengalahkannya. Terbukti, semua korban pendomplengan bersedia membayar kewajiban atas nama dirinya walaupun tidak ikut merasakan uangnya. Memang hal itu juga telah disadari sebagai resiko dari kesalahannya sendiri.
Dibawah Ibu Dita selaku PJ I, kini kelompok 017 mulai berbenah. Tentu saja untuk berbenah, tidak cukup hanya sebagai tekad. Tapi harus diwujudkan dalam sikap dan perilaku dalam penerapan sistem tanggung renteng. Tahapan demi tahapan dalam sistem tanggung renteng harus dijalankan secara konsisten dan disiplin. Setiap komponennya dijalankan dengan penuh makna mulai dari absen, notulen, kontrol pembayaran kewajiban, musyawarah hingga tandatangan persetujuan.
Pada saat mengambil keputusan melalui musyawarah harus dilandasi dengan kejujuran dan keterbukaan. Kata setuju bukan hanya berasal dari PJ tapi oleh seluruh anggota. Karena apapun resiko dari keputusan tersebut akan menjadi tanggung jawab seluruh anggota dalam kelompok. Untuk itulah setiap anggota harus berani mengemukakan pendapat dan kritis. Tentu saja yang disampaikan harus obyektif bukan berdasarkan rasa senang atau tidak senang. Dalam hal ini, absen dan notulen bisa menjadi rujukannya.
Kasus yang terjadi pada Nopember tahun lalu di kelompok 017, tentu tidak begitu saja terjadi. Kasus tersebut merupakan permukaan dari tumpukan permasalahan dari waktu-waktu sebelumnya. Sedangkan permasalahan itu sendiri berawal dari ketidak disiplinan dalam menerapkanĀ sistem tanggung renteng. Di sinilah sebetulnya peran PPL sebagai pendamping kelompok. Keberadaanya untuk memastikan bahwa kelompok telah menerapkan sistem tanggung renteng secara tepat dan benar. (gt)
Pemahaman yang saya peroleh tentang musyawarah dari pengalaman koperasi sangat menarik, ternyata musyawarah mungkin saja dilakukan karena alasan formalitas semata, terima kasih atas sharing pengalamannya.