Dengan Sistem Tanggung Renteng Kopwan Setia Bhakti Wanita Mampu Tekan Kemacetan Piutang Hingga 0 % dan Anggota Lebih berdaya.
Koperasi simpan pinjam memang bukan bank. Tapi distribusi dananya bisa menjangkau hingga pada masyarakat lapisan paling bawah. Seperti juga Koperasi Wanita “Setia Bhakti Wanita” Surabaya yang bergerak dibidang simpan pinjam. Saat ini ada 10.700 perempuan di Surabaya dan sekitarnya yang menjadi anggota dan telah merasakan pelayanan berupa pinjaman. Mereka terdiri dari berbagai lapisan, mulai dari mbok bakul jamu, pracangan hingga para intelektual.
Koperasi Wanita “Setia Bhakti Wanita” memang telah menjadi pilihan masyarakat Surabaya dan sekitarnya untuk mendapatkan dana secara cepat dan mudah. Pendek kata hari ini mengajukan pinjaman, hari ini pula pinjaman bisa cair. Dan itu semua bisa didapatkan tanpa harus mengajukan proposal ataupun jaminan. Hanya satu syaratnya, harus menjadi anggota dan tergabung dalam kelompok. Walaupun pinjaman diajukan tanpa jaminan atau agunan, hingga kini Koperasi Wanita Setia Bhakti Wanita tetap bisa mempertahankan kemacetan piutang 0 %.
Hal tersebut terjadi karena Koperasi Wanita Setia Bhakti Wanita sejak lahirnya tahun 1978 telah mengetrapkan sistem tanggung renteng. Dalam sistem ini mensyaratkan anggota untuk tergabung dalam kelompok-kelompok. Setiap kelompok minimal terdiri dari 15 anggota dan maksimal 30 anggota. Anggota dalam kelompok tersebut wajib mengadakan pertemuan kelompok setiap bulannya.
Pertemuan kelompok ini menjadi wajib, karena sesungguhnya dari pertemuan kelompok inilah awal dari kegiatan yang ada dalam Koperasi Wanita “Setia Bhakti Wanita”. Didalam pertemuan kelompok inilah penerimaan dan mengeluarkan anggota dilakukan. Dalam pertemuan kelompok ini pula penentuan berapa besar pinjaman yang bisa didapatkan oleh setiap anggota. Melalui pertemuan kelompok, anggota melunasi semua kewajibannya (membayar angsuran) yang kemudian disetor ke Koperasi Wanita Setia Bhakti Wanita oleh penanggung jawab kelompok (PJ) paling lambat 1 hari setelah pertemuan.
Semua kegiatan tersebut harus dilakukan melalui proses musyawarah dan hasil musyawarah yang berupa kesepakatan bersama dijadikan rambu-rambu dalam setiap kegiatan berkoperasi. Musyawarah dilakukan ketika ada calon anggota. Calon anggota tersebut diterima atau tidak tergantung dari kesepakatan semua anggota dalam kelompok tersebut. Jadi kalau diantara anggota dalam kelompok tersebut tidak ada yang mengenal, maka bisa dipastikan calon anggota tidak bisa diterima.
Dengan demikian diantara anggota dalam kelompok akan saling kenal dan mengetahui latar belakangnya. Sehingga kedekatan sebagai syarat terwujudnya kebersamaan diantara mereka akan terjadi. Begitupula ketika akan mengeluarkan salah satu anggotanya karena ketidak patuhan terhadap peraturan yang ada terutama lalai terhadap kewajibannya, maka anggota pun bermusyawarah. Dan hasil kesepakatan itu akan menjadi tanggung jawab bersama seluruh anggota dalam kelompok tersebut.
Musyawarah dalam pertemuan kelompok juga dilakukan untuk menentukan pinjaman. Artinya ketika anggota mengajukan pinjaman, harus diketahui oleh seluruh anggota dalam kelompok. Kemudian musyawarah dilakukan dengan menampung masukan-masukan dari anggota termasuk kemampuan mengangsur dari anggota yang mengajukan tersebut. Setelah kesepakatan diambil untuk menentukan berapa besar pinjaman, kemudian seluruh anggota wajib membubuhkan tanda tangan di balik lembar Surat Permohonan Pinjaman (SPP). Tanda tangan tersebut mempunyai arti sebagai bukti “setuju” atas pinjaman yang diajukan dan harus bertanggung jawab bila terjadi kelalaian atas angsuran.
Dengan demikian bila ada anggota yang tidak membayar kewajibannya (membayar angsuran) maka seluruh anggota dalam kelompok tersebut ikut bertanggung jawab. Dalam hal demikian diistilahkan “di TR” kepanjangan dari kata di tanggung renteng. Artinya besar angsuran yang tak terbayar tersebut ditanggung bersama oleh seluruh anggota dalam kelompok. Sehingga seluruh angsuran yang disetor ke Kopwan Setia Bhakti Wanita sesuai dengan jumlah tagihan. Proses inilah yang kemudian terbukti mampu mengamankan asset koperasi dengan tunggakan 0 %.
Namun atas kesepakatan dari anggota dalam kelompok, biasanya setiap kelompok mempunyai dana cadangan yang disebut dengan tabungan kelompok. Tabungan ini dikeluarkan manakala ada anggota yang tidak bisa membayar angsuran. Sehingga anggota merasa lebih ringan dibanding dengan cara membayar spontan tatkala ada anggota yang di TR. Kendati demikian, dalam penggunaan tabungan kelompok juga harus melalui musyawarah. Artinya penggunaan tabungan kelompok tidak bisa seenaknya dikeluarkan oleh penanggung jawab. Tapi semuanya harus melalui persetujuan semua anggota.
Dan ada pula kelompok yang kemudian menggunakan tabungan tersebut untuk rekreasi, karena ternyata dana tersebut dalam setahun tidak terkurangi. Karena memang tidak ada anggota yang di TR (atau lalai dalam membayar angsuran). Kalaupun ada dan itu karena suatu musibah biasanya atas persetujuan seluruh anggota kelompok, dana tabungan kelompok dikeluarkan dengan persetujuan lebih lanjut akan dikembalikan sesuai kesepakatan.
Suatu contoh, salah satu anggota tidak bisa membayar angsuran karena kecelakaan, sehingga dananya tersedot untuk biaya pengobatan. Permasalahan ini disampaikan pada seluruh anggota dalam pertemuan kelompok. Dari kesepakatan akhirnya diputuskan angsuran ditalangi (dipinjami) dulu dari tabungan kelompok. Kemudian anggota yang mengalami musibah tersebut ditanya bagaimana sistem pengembaliannya. Biasanya yang terjadi, pengembalian dilakukan dengan cara mengansur selama beberapa bulan. Dengan demikian beban akan terasa lebih ringan sementara asset koperasi tidak terganggu.
Arisan & Sistem Tanggung Renteng
Kelompok arisan memang sudah tidak asing dikalangan masyarakat, baik itu arisan berupa barang maupun uang. Dalam kelompok arisan ini biasanya ada satu orang yang menjadi borek atau penganggung jawab. Ia bertugas menagih pada anggota kelompok untuk membayar arisan. Kemudian dari tagihan tersebut akan diberikan pada mereka yang narik baik itu melalui urut nomor maupun diundi. Namun bila ada salah satu anggota yang belum sanggup bayar biasanya iapun meminjami sementara. Untuk itulah borek ini biasanya mendapat fasilitas narik lebih dulu atau mendapatkan satu tarikan tanpa mengansur. Semua itu tergantung dari kesepakatan awal seluruh anggota kelompok arisan.
Sistem arisan inilah yang dikembangkan menjadi sistem kelompok tanggung renteng. Jadi dalam kelompok tanggung renteng juga harus ada penanggung jawabnya atau disingkat PJ. Dia inilah yang mengkoordinir dan sebagai faisilitator terselenggaranya pertemuan kelompok. Dia pula yang harus bertanggung jawab lengkap tidaknya jumlah ansuran yang disetorkan ke Kopwan Setia Bhakti Wanita. Kalau memang angsuran kurang, PJ juga harus bisa menggerakkan anggotannya untuk melakukan tanggung renteng (bermusyawarah untuk membagi tanggung jawab bersama-sama dengan seluruh anggotanya). Untuk beban tanggung jawab yang dipikul tersebut seorang PJ mendapat fasilitas dari Kopwan Setia Bhakti Wanita berupa berbagai insentif.
Hanya bedanya bila dalam kelompok arisan, pertemuan kelompok bukanlah suatu kewajiban karena yang lebih diutamakan adalah membayar tanggungan arisan. Sedangkan dalam kelompok tanggung renteng, pertemuan menjadi hal yang wajib. Karena bagaimana bisa muncul jiwa kebersamaan bila diantara anggota tidak terjadi interaksi. Dan kalau tidak ada jiwa kebersamaan bagaimana mungkin diantara mereka mau saling menanggung. Jiwa individu yang justru akan menonjol. Kalau sudah demikian yang terjadi hutangmu adalah tanggung jawabmu dan tidak akan mau tahu bila kamu mengalami kesulitan.
Hal – hal seperti itulah yang membedakan antara koperasi simpan pinjam dengan sistem tanggung renteng dan koperasi simpan pinjam lainnya. Tak mengherankan bila koperasi simpan pinjam dengan sistem tanggung renteng seperti yang diterapkan Kopwan Setia Bhakti Wanita dan primer lain di Puskowanjati mampu menekan tunggakan.
Terbentuknya Tata Nilai
Kok mau-maunya menanggung angsuran anggota lain ? memang itulah pertanyaan yang sering muncul dalam benak mereka yang baru mengenal sistem tanggung renteng. Di Kopwan Setia Bhakti Wanita ada proses seleksi anggota yang sangat mendukung hal itu. Ketika calon anggota mau mengajukan menjadi anggota ia diberi pemahaman terlebih dahulu tentang sistem tanggung renteng. Kemudian ia bisa diterima bila punya komitmen dan sepakat menerima sistem tanggung renteng dengan segala konsekuensinya. Hal tersebut dilakukan dalam kelompok yang akan dimasuki.
Tapi bila yang mendaftar menjadi anggota merupakan satu kelompok (minimum 15 orang), maka seluruh anggota kelompok tersebut wajib hadir dan bertemu pengurus. Dalam pertemuan itulah dijelaskan apa dan bagaimana sistem tanggung renteng. Setelah mereka faham dan punya komitmen untuk mengetrapkan sistem tanggung renteng. Mereka akan menjadi kelompok anggota baru. Tentunya setelah beberapa syarat administrasi juga dipenuhi. Dengan demikian tidak ada alasan bagi anggota tersebut untuk tidak melaksanakan tanggung renteng.
Sistem tanggung renteng memang menuntut adanya kedisiplinan setiap anggota. Mereka harus tepat waktu dalam menghadiri pertemuan kelompok. Karena tertinggalnya seorang anggota dalam pertemuan kelompok sehingga kewajiban angsuran juga tertinggal berarti akan menjadi tanggungan seluruh anggota dalam kelompok tersebut. Dengan pola demikian akan muncul rasa malu diantara mereka jika sampai lalai dalam pemenuhan kewajibannya. Dan kontrol serta saling mengingatkan juga akan terjadi diantara anggota dalam kelompok. Sehingga memunculkan rasa tanggung jawab dari setiap anggota baik terhadap eksistensi dirinya sendiri maupun kelompoknya.
Setiap anggota secara tidak sadar juga akan tertuntut untuk berbuat disiplin dalam menghadiri pertemuan kelompok. Karena bila ia jarang menghadiri pertemuan kelompok ia akan kesulitan mendapatkan persetujuan anggota yang lain ketika mengajukan pinjaman. Hal ini terjadi karena ketika ada anggota lain mengajukan pinjaman ia juga tidak pernah hadir untuk tanda tangan memeberikan persetujuan. Dengan pola seperti ini yang dilakukan secara konsisten akan memunculkan rasa tepo seliro atau rasa empati terhadap sesama. Dan rasa ini akan semakin menguat sehingga tidak hanya dalam lingkup kelompok tapi berkembang pada masayarakat sekitarnya.
Tak mengherankan, ketika ada anggota Kopwan Setia Bhakti Wanita mengalami musibah kebakaran, anggota yang lainpun secara spontan membantu. Begitupula ketika terjadi bencana alam di Situbondo, anggota juga mengumpulkan dana untuk memberikan bantuan. Pengungsi Sampit di Madura dan yang terakhir sembako untuk kaum dhu’afa di Surabaya, semua itu merupakan bentuk nyata dari pengembangan rasa empati anggota.
Rasa empati dari setiap anggota pada anggota lain dan masyarakat sekitarnya sebetulnya merupakan wujud dari rasa kebersamaan itu sendiri. Sehingga kebersamaan dan kekeluargaan di Kopwan Setia Bhakti Wanita bukan hanya slogan tapi sudah menjadi kenyataan dalam kehidupan anggota. Rasa kebersamaan dan kekeluargaan ini tidak hanya dipupuk di lingkup kelompok tapi juga pada tingkat lembaga Kopwan Setia Bhakti Wanita. Setiap permasalahan, setiap kebijakan yang akan dikeluarkan atau strategi kedepan, oleh lembaga selalu disampaikan dan dimusyawarahkan bersama anggota. Dalam hal ini selain ada pertemuan kelompok juga ada mekanisme temu wicara, RAPB dan RAT.
Dalam forum itulah anggota bebas mengeluarkan pendapat bahkan penilaian. Maka bukanlah suatu yang aneh bila dalam pertemuan kelompok, temu wicara, RAPB maupun RAT banyak pendapat dan masukan yang bisa terserab. Sehingga strategi pengembangan Kopwan Setia Bhakti Wanita yang ditempuh bisa selalu selaras dengan kebutuhan anggotanya. Legitimasi atau kepercayaan anggota juga terus berkembang karena komitmen dan kedisiplinan pengelola Kopwan Setia Bhakti Wanita terhadap terlaksananya kebijakan yang telah ditentukan.
Hal ini juga bisa terlihat ketika, Kopwan Setia Bhakti Wanita menghadapi melonjaknya suku bunga. Ketika permasalahan disampaikan, anggotapun sepakat untuk menutup permasalahan tersebut dengan urunan sebesar Rp 16.000 per anggota. Begitupula ketika pembangunan gedung, anggotapun sepakat untuk urunan. Hal tersebut bisa terjadi karena anggota bukan menjadi obyek tapi menjadi subyek yang turut memiliki Kopwan Setia Bhakti Wanita. Dan keberadaan anggota sudah seperti keluarga besar dimana permasalahan lembaga juga dianggap permasalahan bersama.
Nilai-nilai tersebut diatas itulah yang merupakan penunjang terlaksananya sistem tanggung renteng. Sedang salah satu indikator keberhasilan tersebut adalah tunggakan 0 %. Dan agar nilai-nilai tersebut bisa terus terawat, Kopwan Setia Bhakti Wanita menugaskan PPL yang mendampingi anggota dalam setiap pertemuan kelompok. PPL ini pula yang menjadi jembatan antara lembaga Kopwan Setia Bhakti Wanita dan anggotanya.
Diawali Dari Semangat Berhutang
Satu lidi tentu akan kurang berarti. Tapi kalau banyak lidi terikat menjadi satu, akan banyak manfaatnya. Itulah sebabnya Kopwan Setia Bhakti Wanita mempunyai motto berkembang dengan derap kebersamaan. Karena secara bersama-sama tujuan akan lebih mudah diwujudkan.
Ketika seseorang terdesak kebutuhan, sementara dana tidak mencukupi, salah satu caranya dengan berhutang. Dan hasilnya ada 2 kemungkinan, pertama hutang akan mudah diperoleh bila orang tersebut cukup kredibel. Kemungkinan kedua, mengalami kesulitan karena tidak ada orang yang mau mempercayainya. Tapi yang jelas dari kedua kemungkinan tersebut semuanya tetap membutuhkan perjuangan, atau paling tidak kemampuan merayu. Itulah salah satu motif orang mau bergabung dalam kelompok atau membentuk kelompok baru kemudian bergabung dengan Kopwan Setia Bhakti Wanita. Memang bukan hal yang naïf bila dikatakan motif menjadi anggota adalah untuk berhutang. Karena motif inilah yang bisa menyatukan mereka. Bukankah untuk mendirikan koperasi itu harus ada kepentingan yang sama.
Sistem tanggung renteng merupakan alat yang dikembangkan oleh Kopwan SBW agar fasilitas pelayanan terhadap kebutuhan anggota tidak susut bahkan bisa terus dikembangkan. Dengan terjaganya asset maka kebutuhan dana dari anggota juga bisa dengan mudah dipenuhi. Artinya pemenuhan kebutuhan anggota dengan cara berhutang bisa dilayani bahkan terus ditingkatkan.
Namun akan menjadi lain bila tanggung renteng tidak berjalan dengan baik. Ketika ada anggota yang tidak membayar kewajibannya maka yang lain tak peduli. Semangat berhutang tinggi tapi semangat mengembalikannya sangat rendah. Akibatnya tunggakan akan membengkak, dengan demikian assetpun akan terkurangi. Dampak selanjutnya, kemampuan koperasi untuk melayani kebutuhan anggota untuk berhutang juga akan berkurang. Bahkan berbagai simpanan anggota di koperasi akan terancam hangus. Kenyataan seperti itulah yang sering terungkap di koperasi lain ketika mengadakan study banding di Kopwan SBW.
Hal ini tak ubahnya dengan lilin, untuk bisa menerangi sekelilingnya ia harus menghabiskan dirinya. Tentu berbeda dengan lampu petromak. Lampu ini baru bisa menerangi sekelilingnya bila pemiliknya mau mengisi bahan bakar dan mau merawat. Begitupula dengan Kopwan SBW. Koperasi ini akan mampu berkiprah dan bermanfaat bila pemilikya bisa menjaga serta merawatnya. Dan cara menjaga serta merawat itu ialah dengan mengetrapkan sistem tanggung renteng dengan benar. Dengan sistem ini asset koperasi akan terjaga sementara kebutuhan berhutang dari anggota bisa dipenuhi dengan baik.
Proses Pembelajaran
Namun sangat disayangkan bila berkumpulnya orang-orang tersebut hanya sebatas memenuhi kebutuhan berhutang. Karena dengan berkumpulnya orang-orang, akan muncul potensi yang lebih besar untuk menjadi lebih berdaya, lebih berkualitas. Tentunya bila semua itu dikelola dengan baik. Berdirinya gedung yang besar milik Kopwan SBW seperti yang ada sekarang merupakan bukti.
Ketika anggota urunan untuk membangun gedung, saat itu bukan lagi termotovasi karena kebutuhan hutang. Begitupula ketika SBW Peduli terbentuk dengan dananya yang puluhan juta, disitu juga sudah bukan lagi termotivasi oleh kebutuhan berhutang. Untuk pengembangan motiv dari berhutang menjadi peduli pada sekitarnya dalam hal ini tidak lepas dari sistem tanggung renteng yang telah diterapkan.
Ketika ada anggota tidak membayar kewajibannya maka seluruh anggota dalam kelompok ikut menanggungnya. Dan agar semua anggota mau melakukan, sangsipun dibuat. Dengan demikian mau tak mau setiap anggota akan saling kontrol, saling mengingatkan supaya tidak lalai dalam memenuhi kewajibannya
Karena pada dasarnya sistem tanggung renteng bila diterapkan dengan benar maka akan menumbuhkan pola pikir yang rasional dan bertanggung jawab. Ketika mengajukan pinjaman, anggota menyadari bahwa dana yang dipinjam itu adalah milik seluruh anggota Kopwan SBW. Jadi kalau kewajiban diabaikan, sama artinya merugikan seluruh anggota. Sehingga anggota tersebut akan mempertimbangkan kebutuhannya dengan cermat dan berapa dana yang harus dipinjam untuk menutup kebutuhan tersebut. Kemudian disesuaikan lagi dengan besarnya kemampuan menyisihkan sebagian dari pendapatannya.
Namun karena tidak semua anggota menyadari hal itu maka munculah rambu rambu, seperti kalau ada yang tidak bayar maka ditanggung semua anggota dalam kelompok. Selain itu juga disediakan instrumen seperti musyawarah, seluruh anggota menandatangani SPPdan berbagai sangsi yang mendukungnya. Itu semua untuk mengarahkan agar anggota lebih rasional dalam melihat kebutuhan dan kemampuannya. Dan sangsi diberikan agar anggota lebih memperhatikan aturan yang telah ditetapkan. Sehingga akan memunculkan rasa bertanggung jawab baik pada dirinya sendiri maupun kepada kelompok.
Dengan demikian, motiv berhutang bisa berkembang menjadi rasa tangung jawab terhadap keberadaan kelompoknya dan koperasinya. Disinilah makna dari sebuah kebersamaan. Dan tujuan yang lebih besar bukan sekedar berhutang akan lebih mudah dicapai. Kualitas hidup lebih baik dan lebih sejahtera akan mudah terwujud bila dilakukan secara bersama-sama.