Sejarah nampaknya memang terus berulang. Sejarah juga menunjukan betapa besar energi kebersamaan yang telah dibangun Kopwan SBW. Diantaranya pembangunan Gedung I & II yang sangat monumental.
Rapat Anggota Luar Biasa telah digelar pada 23 Juli lalu. Keputusanpun telah diambil dalam forum luar biasa tersebut. Dalam hal ini wakil anggota yang hadir dalam RALB telah sepakat untuk memugar kantor Kopwan SBW menjadi 5 lantai. Bahkan kepanitiaan terkait dengan pembangunan itupun juga sudah diputuskan. Begitu pula dengan masalah pendanaannya.
Kendati demikian sejarah tidak boleh dilupakan. Karena banyak hal yang bisa diambil sebagai pelajaran dalam sejarah tersebut. Untuk itu disaat saat menjelang dipugarnya kantor Kopwan SBW ini, anggota sebagai pemilik koperasi ini harus tahu bagaimana sejarah berdirinya gedung kebanggaan SBW tersebut. Karena disitu ada nilai perjuangan dan semangat kebersamaan yang tentunya tidak boleh pudar walau gedungnya telah tiada.
Bila saat ini Koperasi Wanita Setia Bhakti Wanita dianggap sebagai barometer koperasi wanita di Indonesia, tapi tidak demikian pada dekade tahun delapan puluhan. Ditahun 1978 tentu tidak ada yang mengenal Koperasi Setia Bhakti Wanita, kecuali para pendiri dan sekelompok ibu arisan di wilayah Gubeng. Bahkan kantornyapun tidak banyak yang tahu karena berada di sebuah garasi Ibu Yudara, salah satu pendiri.
Perjuangan yang tak kenal lelah dari para pendiri dan ibu-ibu kelompok arisan inilah yang membuat Koperasi Setia Bhakti Wanita bisa terus berkembang. Mereka gigih dalam mengembangkan anggota walau dalam kondisi serba terbatas. Bahkan fasilitas yang ditawarkan kepada masyarakat untuk bergabung jadi anggota juga jauh dari kondisi sekarang. Fasilitas yang dinikmati anggota saat ini sudah bisa dibilang ribuan kali lipat dibanding saat itu.
Memerangi rentenir yang lagi marak, itulah yang menjadi semangat para pejuang Kop SBW saat itu. Dari semangat itu pula yang membuat jumlah anggota terus bertambah. Sehingga dua tahun setelah berdiri, tempat garasi sudah tidak memadai lagi sebagai tempat pelayanan anggota. Akhirnya diputuskan untuk menyewa kantor di Jl. Panglima Sudirman- Surabaya. Kantor tersebut milik Puskowanjati yang disewakan dengan harga yang terjangkau oleh koperasi yang baru tumbuh ini.
Tahun terus berganti, jumlah anggota juga terus bertambah. Sehingga kantor milik Puskowanjati itupun sudah tidak memadai lagi sebagai tempat pelayanan anggota. Koperasi dibawah kepemimpinan Ibu Yoos Lutfi itupun mencari lahan sebagai kantor. Akhirnya ditemukan lahan di Jl. Jemur Andayani dan berhasil dibeli. Permasalahannya kemudian, tidak ada dana untuk membangun gedung diatas lahan di Jl. Jemur Andayani,55 tersebut.
Permasalahan itupun disampaikan di Rapat Anggota. Ternyata saat itu anggotapun sepakat dengan skema pembiayaan pembangunan gedung dari SHU bagian anggota. Dalam hal ini anggota rela tidak menerima SHU selama lima tahun karena besarnya keinginan untuk bisa memiliki gedung kantor sendiri.
Karena biaya pembangunan diambil dari SHU, maka gedungpun tidak bisa langsung berdiri. Pembangunan dilakukan bertahap sesuai dengan kemampuan SHU saat itu. Pola pembangunan gedung yang demikian inilah yang justru menarik perhatian Bp Roesmawi Hasan, Kepala Dinas Koperasi saat itu. Beliau inilah yang membukakan akses pinjaman kepada Asosiasi Pengusaha Tepung Terigu (APEGTI). Sehingga gedung SBW pertama bisa segara berdiri.
Semangat anggota untuk bisa memiliki gedung sendiri itu pula yang membuat Bp Bustanil Arifin, Menkop kala itu tertarik. Sehingga ketika diminta meresmikan gedung pertama Kopwan SBW pada tahun 1988, Beliaupun menyatakan hutang SBW terhadap APEGTI lunas. Anggota yang mendengar pernyataan itupun banyak yang terharu. Karena perjuangan untuk memiliki gedung sendiri itu tidaklah sia-sia. Semangat perjuangan dan pengorbanan mereka ternyata juga mendapat perhatian dari pejabat.
Sejarahpun kembali berulang. Tatkalah anggota telah mencapai sekitar 6 ribuan, Gedung pertama SBW sudah tidak memadai lagi. Disaat kondisi seperti itu, anggota kembali menunjukkan semangat kebersamaanya. Anggotapun kembali berjuang bersama untuk bisa mewujudkan perluasan gedung. Di Rapat Anggota pula, kesepakatan dibuat untuk pendanaan pembangunan gedung baru. Saat itu diputuskan iuran Rp 16 ribu per anggota yang bisa diangsur selama 5 kali. Hasilnya Gedung II bisa berdiri dan diresmikan pada tahun 1996.
Kini sejarah itupun kembali terulang. Dengan jumlah anggota mencapai 13 ribu lebih, gedung yang dimiliki saat ini sudah tidak memadai lagi. Pada RALB tanggal 23 Juli lalu telah diputuskan untuk membangun gedung baru berlantai 5 untuk bagian depan dan berlantai 3 dibagian belakang. Tapi bedanya, untuk pembiayaan menggunakan pendanaan dari pihak ketiga yaitu LPDB. Hal tersebut memang wajar mengingat akses SBW ke pihak ketiga cukup luas berbeda dengan perjalanan ditahun delapan puluhan. (gt)