Masalah karyawisata, penurunan jasa dan hasil penjualan lahan di Desa Pepe – Sidoarjo, telah menjadi bahasan utama dalam Rapat Anggota membahas RK-RAPB 2016. Berikut jalannya sidang yang diselenggarakan pada 23 Desember lalu.
Karyawisata anggota memang sudah menjadi agenda rutin dua tahunan. Agenda inipun sudah masuk dalam perencanaan 2016. Terkait dengan agenda dua tahunan ini, ternyata banyak yang mengusulkan tujuan karyawisata ke Pulau Lombok. Menanggapi berita acara yang masuk terkait karyawisata ini, Ibu Indri, Ketua I Kopwan SBW dalam paparannya menawarkan 3 pilihan tujuan.
“Kegiatan ini menggunakan dana pendidikan anggota. Jadi acaranya tetap harus ada unsur edukasi. Jangan hanya wisata atau nglencer saja. Ibu-ibu mari pikirkan bersama, kalau ke Lombok, pasti ibu-ibu ingin naik pesawat. Lalu menginapnya di hotel yang nyaman. Jadi perkiraan biaya untuk itu sekitar Rp 3 juta per orang. Sementara dana pendidikan untuk karyawisata sekitar Rp 970 ribu per orang. Lalu sisanya bagaimana ? apa dimasukan biaya. Kalau masuk biaya tentu ini sangat besar yaitu sekitar dua jutaan per orang. Ini tentu akan sangat berpengaruh pada SHU anggota,” tukas Ibu Indri Soerdjani dihadapan peserta Rapat Anggota.
Pada kesempatan tersebut Ibu Indri juga mencoba memberikan alternative lain yaitu Yogyakara dan Bandung. Untuk ke Yogyakarta diperkirakan biayanya sekitar antara Rp1,6 juta sampai Rp 1,85 juta. Dengan kekurangan antara Rp 630 ribu sampai Rp 880 ribu per orang yang bisa dialokasikan dalam biaya. Sedangkan ke Bandung, kekurangannya sekitar Rp 1,78 juta.
Ketika ditawarkan alternative tersebut, ternyata sebagian besar tetap menginginkan tujuan ke Pulau Lombok. Pembahasanpun cukup sengit karena akan terkait dengan biaya yang cukup besar dan mengganggu SHU. Bahkan sampai ada yang adu argumentasi langsung didepan mic tanpa menghiraukan pimpinan sidang.
Dari perdebatan yang terjadi, akhirnya diputuskan karyawisata ke Pulau Lombok. Sedangkan kekurangan biaya ditanggung masing-masing peserta karyawisata. Untuk itu disepakati pula menggunakan pinjaman karyawisata yang nilainya Rp 2,5 juta yang diangsur 20 kali.
Masalah lain yang pembahasannya cukup menyita waktu adalah terkait dengan penurunan jasa. “Sebetulnya hanya beberapa kelompok yang menyoroti jasa minta diturunkan. Penurunan ini dikaitkan dengan penjualan tanah Desa Pepe. Hal ini juga dikaitkan dengan keputusan RA No. 01/KPTS/RA.RK-RAPB/XII/2013 yang bunyinya DBA sementara tetap dan akan ditinjau kembali apabila di tanah Desa Pepe telah terjual. Kami tetap memperhatikan aspirasi kelompok yang menyoroti masalah jasa dan DBA ini,” tukas Ibu Indri.
Permasalahan ini mencuat karena dianggap hasil penjualan lahan di Desa Pepe sudah cukup untuk permodalan sendiri ditambah lagi dengan DBA. Sehingga biaya untuk pembayaran bunga pada pihak ketiga bisa terkurangi. Dengan demikian jasa pinjaman bisa diturunkan. Untuk masalah ini pengurus sebagaimana disampaikan Ibu Indri menawarkan alternative dan konsekuensinya.
Alternatif pertama bila jasa tetap 1,55% namun tanpa DBA. Bila hal ini yang dipilih maka tidak akan berpengaruh pada perolehan SHU sebagaimana telah direncanakan. Namun akan berpengaruh pada komposisi Aktiva Lancar, Kewajiban Lancar dan Equitas. Tidak ada lagi pemupukan modal sendiri dari DBA yaitu sekitar Rp 2 milyar per tahun. Bahkan akan terus terkurangi seiring dengan adanya anggota yang mengundurkan diri. Dari data 2015 penerimaan DBA sekitar Rp 3,174 milyar sedang pengeluaran untuk yang PD sekitar Rp 765 juta.
Alternative berikutnya bila jasa diturunkan 1,5% tanpa DBA. Konsekuensinya jasa simpanan juga harus diturunkan untuk mengimbangi penurunan jasa pinjaman. Hal sama juga terjadi pada alternative ketiga yaitu jika jasa turun 1,45 % dan DBA turun 0,25 %. Konsekuensinya jasa simpanan seperti sukarela berjangka, Simpanan Harian, Simpanan Setia plus dan Simpanan Umrah, turun 1 % pertahun. Alternative ini juga berakibat pada penurunan SHU dan simpanan organisasi sebesar 2,46 %.
Untuk posisi DBA memang bisa tergantikan dengan adanya dana dari penjualan lahan di Desa Pepe. Dengan catatan bila perhitungan biaya dari jasa-jasa sejak pembelian hingga laku, dimasukkan ke pos cadangan. Seperti diketahui pemupukan untuk pos cadangan selama ini hanya 10% dari total SHU yang diperoleh. Idealnya dana cadangan diperoleh 20% dari SHU.
Apabila sebagian dari hasil penjualan tanah masuk ke pos cadangan disetujui maka dana cadangan meningkat dari Rp 4,282 milyar menjadi Rp 9,430 milyar. Dari dana cadangan tersebut ditambah dengan dana pengembangan usaha Rp 9,615 milyar maka total cadangan menjadi Rp 19,046 milyar. Dengan demikian total modal sendiri menjadi Rp 91,396 milyar. Dengan posisi permodalan seperti itu, tidak terjadi penurunan SHU dan cadangan semakin kuat. Hal tersebut akan memberikan nilai lebih bagi Kopwan SBW dimata pihak luar.
Bila dengan DBA tetap kemudian ditambah dengan sebagian hasil penjualan lahan Desa Pepe yang masuk ke cadangan maka akan menguatkan modal sendiri sebesar 5,46 %. Hal ini sangat baik bagi posisi keuangan koperasi dan memberi nilai positif terhadap penilaian koperasi dari pihak lain. Tentu saja permintaan anggota untuk turun jasa pinjaman akan dapat direalisasi setelah semua pembayaran tanah Desa Pepe lunas.
Dari alternative tersebut, muncul pula argument lain dari beberapa anggota. Mulai dari perdebatan tentang besarnya penurunan jasa sampai dengan modal yang digunakan untuk pembelian lahan. Karena hal itu akan berpengaruh juga pada prosentase alokasi dana dari hasil penjualan tersebut. Untuk pembagian keuntungan ini ada 313 kelompok yang sepakat agar dimasukan ke simpanan sukarela. Seperti diketahui Rapat Anggota pada Pebruari 2015 menyatakan keuntungan akan dibagikan ke anggota yang perhitungannya secara proporsional dari DBA.
Masalah alokasi dana dari hasil penjualan lahan Desa Pepe inipun tidak bisa diputuskan. Namun telah disepakati dan diputuskan akan dilakukan perhitungan secara cermat dengan melibatkan pihak-pihak yang terkait dengan pembelian asset tersebut. Sedangkan untuk penurunan jasa disetujui menjadi 1,45% dan DBA turun menjadi 0,15%. Namun seperti diketahui transaksi penjualan lahan Desa Pepe baru pada tahap pemberian DP.
Terkait dengan asset berupa lahan, pembahasannya juga berkembang. Hal ini diawali dengan paparan Ibu Yusi selaku Koordinator Pengawas. Pada kesempatan tersebut dipaparkan ada beberapa asset yang tidak produktif yang ada di Desa Semambung – Sidoarjo dan Desa Ujung Pangkah Gersik. Anggotapun menuntut agar lahan yang cukup luas tersebut dibuat produktif. Diantaranya ada yang mengusulkan untuk dijadikan kebun mangga.
Ada pula usulan yang menarik terkait dengan sorotan anggota tentang efesiensi pembungkus di unit swalayan. Terkait dengan ini Ibu Indri menawarkan agar ketika belanja, anggota sudah membawa bungkus atau tas belanja dari rumah. Tapi ternyata sebagian besar kurang antusias menanggapinya. Padahal kalau ini disepakati, yang terjadi bukan saja efesiensi tapi juga ikut menjaga kelestarian lingkungan. (gt)