Usaha Kuliner

Persaingan dalam usaha adalah biasa. Tapi bagaimana menjadi yang berbeda, itulah yang dilakukan Ibu Sulastri anggota kelompok 324 dalam menyiasati persaingan. Kini usaha kulinernya telah berjalan hampir 24 tahun.

Somay, batagor, empek-empek, rujak cingur, gado-gado dan es puter, itulah yang menjadi andalannya. Dengan kekhasannya, tender untuk bisa menempati salah satu stand di kantin UK Petra berhasil dimenangkan dan bertahan hingga sekarang. Karena memang makanan tersebut sangat digemari oleh komunitas kampus UK Petra. Bukan hanya digemari para mahasiswa tapi juga para pengajar dan perkerja di kampus yang ada di Siwalankerto tersebut.

“Awalnya saya berjualan dijalan depan kampus tahun 1994. Ternyata warga kampus banyak yang suka. Sampai akhirnya salah satu dosen disana menawari saya untuk berjualan di kantin. Alhamdulillah, pada tahun 2004 saya memenangkan tender walaupun biaya sewanya cukup mahal. Bila dihitung setahun biaya sewanya mencapai Rp 12 juta. Alhamdulillah biaya tersebut bisa tercover walaupun kondisinya tidak sepanjang tahun ramai,” tukas Ibu Sulastri yang juga PJ I kelompok 324.

Usaha Kuliner

Dipaparkannya, kondisi kampus hanya 6 bulan yang bisa dikatakan ramai mahasiswa. Selebihnya biasa saja bahkan pada bulan – bulan tertentu tidak ada aktivitas. Walaupun demikian biaya sewa satu tahun bisa tertutupi dengan cara menyisihkan pendapatan setiap harinya. Untuk stand di Gedung T Kampus UK Petra ini, omsetnya berkisar Rp 1 juta sampai Rp 1,5 juta per hari.

“Saat ini biaya sewa Rp 1,5 juta per bulan. Jadi setiap hari kita harus menyisihkan pendapatan minimal Rp 50 ribu. Disamping itu kita sisihkan juga untuk cadangan. Dana inilah yang akan kita gunakan untuk menutup pembayaran disaat –saat sepi. Karena walaupun libur, biaya sewa stand tetap harus dibayar setiap bulan,” tukasnya.

Disamping stand di kantin UK Petra, Ibu Sulastri juga memiliki stand di lokasi Wisata Kuliner  Siwalankerto yang didirikan Pemkot Surabaya. Dengan 2 stand tersebut Ibu Sulastri mampu menggaji 2 pekerja. Sementara dirumahnya sebagai tempat produksi, Ibu Sulastri merekrut 2 pekerja. Setidaknya dengan usaha kulinernya ini, Ibu Sulastri juga ikut mendongkrak ekonomi kerabatnya.

“Yang ikut saya itu saudara saya dan keponakan saya. Prinsip saya dalam usaha ini bagaimana kita bisa makmur bersama. Artinya bagaimana menciptakan kondisi yang nyaman bagi mereka dalam bekerja dan hasilnya bisa dinikmati bersama. Makanya saya juga transparan tentang pendapatan. Jadi kalau pas ramai, mereka juga tahu berapa keuntungan yang diperoleh hari itu. Sehingga merekapun ikhlas dalam bekerja,” ungkapnya.

Usaha Kuliner

Bagi Ibu Sulastri dalam usaha kulinernya ini, tidak ada perencanaan usaha secara khusus yang dibuatnya. Menurutnya dalam usaha itu, yang terpenting bagaimana mendapatkan ridho Illahi. Karena dengan ridhoNya, apa yang sulit bisa menjadi mudah, apa yang tidak mungkin bisa saja terjadi. Untuk mendapatkan ridhoNya itu, Ibu Sulastri selalu berupaya terbaik dalam hal produksi maupun pelayanan.

“Pernah terjadi persaingan dengan produk yang sama. Waktu itu kita langsung mengevaluasi dalam hal rasa. Kita saat itu langsung berupaya meningkatkan kualitas rasa dengan mengubah komposisinya. Walaupun untuk itu, biaya produksi bertambah tapi keuntungan masih bisa diraih. Alhamdulillah jualan kita tetap ramai. Dan memang kita juga punya pelanggan yang fanatik. Kalau bukan saya yang nguleg gitu, mereka tidak mau. Katanya sih rasanya beda,” ungkap Ibu Sulastri membagi strategi dalam persaingan.

Tidak hanya dalam hal produksi, Ibu Sulastri juga membangun hubungan baik dengan para pelangganya. Hubungan baik itu dibangun tidak hanya sebatas sebagai pelanggan tapi juga seperti teman ataupun saudara. Tak mengherankan bila Ibu Sulastri juga sering mendapat oleh-oleh dari pelangganya yang habis bepergian. Bahkan saudara mereka dari luar kota atau luar pulau juga diajak untuk menikmati masakan Ibu Sulastri.

Dari upaya-upaya berlandaskan keikhlasan itulah, pelanggan Ibu Sulastri terus bertambah. Mereka tidak hanya menikmati masakan Ibu Sulastri yang ada dilapaknya tapi juga pesan untuk acara kegiatan mereka. Bahkan tidak jarang, pesanan berasal dari luar kota maupun luar pulau.

Usaha kuliner yang ditekuni Ibu Sulastri ini memang terbilang cukup lama. Tak mengherankan bila ia juga faham kapan saatnya ramai dan kapan saatnya sepi. Bahkan ia juga tahu kapan jam-jam ramai dan jam- jam sepi. Hal ini tentunya terkait dengan strategi jumlah produksi. “Pernah semua sudah hampir habis karena memang ramai. Tapi kita tidak menambah adonan saat itu. Karena kita tahu tidak lama lagi akan masuk jam-jam sepi,” ujar Ibu yang telah dikaruniai 2 anak ini.

Kendati demikian, terkadang sampai jam-jam terakhir dan akan tutup, jualan masih banyak. Kalau sudah demikian, biasanya yang tersisa itu dibungkus untuk dibawa pulang oleh pekerjanya. Tapi lama – kelamaan mereka juga bosan. Sehingga bungkusan itupun dibagikan kepada tetangga ataupun orang-orang tidak mampu yang ditemui sepanjang jalan pulang.

“Pada dasarnya saya itu memang suka masak. Saya sering mencoba-coba aneka resep masakan. Sebelum berjualan saya harus mencoba kualitas rasanya. Saya rasakan sendiri, keluarga maupun tetangga. Kalau mereka bilang enak ya… kita jual. Begitulah awalnya. Saya mulai usaha kuliner itu sejak masih kuliah dan sekarang sudah hampir 24 tahun berjalan,” ujar Ibu Sulastri, alumni Fakultas Ekonim Ubara tahun 1998.

Diceritakan, setelah lulus SMEA tahun 1994 ia berjualan rujak manis dan es degan didepan kampus Petra. Pada tahun 2004, ia memenangkan tender untuk bisa menempati kantin di kampus Petra. Kebetulan saat itu ia juga, mendapat pinjaman dari SBW setelah lepas dari tahapan. Berbekal pinjaman dari SBW itulah, Ibu Sulastri bisa membayar uang sewa stand sebesar Rp 2 juta untuk 2 bulan.

Ibu Sulastri yang telah menjadi anggota SBW sejak 2003 ini menyampaikan rasa syukurnya bisa menjadi bagian dari keluarga besar SBW. Karena baginya, SBW bukan hanya memberi manfaat permodalan tapi juga lainnya. Diantaranya, berbagai pelatihan ketrampilan untuk meningkatkan skill anggota. Ibu Sulastri sendiri, mengaku ketrampilan memasak didapatnya dari pelatihan di SBW. Disamping itu, di SBW juga ada pengembangan wawasan keilmuan. Sehingga kualitas SDM anggota semakin meningkat sebagai bekal dalam upaya mewujudkan kesejahteraan. (gt)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.